Pesantren sering identik dengan bahasa khasnya, yakni bahasa Arab. Entah itu berupa kajian kitab kuning atau bahkan dijadikan sebagai alat komunikasi para santri di setiap harinya. Mengapa demikian? Sebab ilmu yang dipelajari di pesantren selalu merujuk pada Alqur’an dan Hadis yang juga berbahasa Arab. Maka dari itulah, di pesantren sendiri dikenal ilmu khusus tentang gramatika Arab. Tujuannya adalah agar para santri dapat dengan mudah mempelajari semua ilmu agama, termasuk menggali makna dalam Alqur’an, Hadis, dan kitab-kitab turats.
Keutamaan bahasa arab sendiri telah diabadikan di dalam Alqur’an. Misalnya seperti Alqur’an yang diturunkan berbahasa Arab sebagaimana dalam QS. Yusuf ayat 2 berikut:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ
Artinya: “Sesungguhnya telah Kami turunkan Alqur’an tersebut berbahasa Arab agar kalian kalian memahaminya”.
Umar bin Khattab juga mengungkapkan pentingnya bahasa Arab melalui ucapannya berikut:
تَعَلَّمُوا اللُّغَةَ الْعَرَبِيَّةَ فَإِنَّهَا جُزْءٌ مِنْ دِيْنِكُمْ
Artinya: “Pelajarilah bahasa arab, sebab ia termasuk bagian dari agama kalian”.
Oleh karena bahasa Arab begitu penting, maka dikenallah ilmu gramatika Arab yang sangat populer, yakni nahwu dan sharaf.
Setiap santri pasti mendengar istilah “nahwu” dan “sharaf”. Bahkan dua ilmu ini menjadi pelajaran wajib di setiap madin pesantren. Bahkan hampir di setiap pesantren, terkenal dengan khas utamanya yakni makna gundul di mana ketika kita ingin bisa membaca seperti itu, maka wajib memahami dan menguasai nahwu sharaf.
Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan ilmu nahwu dan sharaf itu?
Sederhananya, ilmu nahwu ialah ilmu yang mempelajari tentang struktur kata dalam bahasa Arab. Umumnya, berkaitan dengan ilmu i’rab dalam hal perubahan akhir kata. Sedangkan ilmu sharaf ialah ilmu yang mempelajari tentang pola dan bentuk kata.
Seperti kalimat (dalam bahasa arab disebut ‘jumlah’):
الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Mengapa lafal “al-hamdu” berharakat dhammah akhirnya? Mengapa lafal “lillaahi” berharakat kasrah akhirnya? dan mengapa lafal “al-‘alamiina” berharakat fathah akhirnya? Di sinilah peran ilmu nahwu untuk menjawabnya. Lalu, apakah jenis kata dari lafal “al-hamdu“? Isim, fi’il, atau huruf-kah? Jika isim, maka masuk isim apa? Bina’nya apa? Di sinilah peran ilmu sharaf untuk menjawabnya.
Dari sini kita bisa memahami bahwa begitu pentingnya kita para santri untuk mempelajari bahasa Arab. Ada beberapa manfaat dibalik mempelajari bahasa arab, antara lain:
1. Mudah memahami dan menghafal Alqur’an dan Hadis;
2. Mudah memahami dan menghafal doa-doa;
3. Mudah memahami ilmu agama yang bersumber dari kitab kuning;
4. Meningkatkan kemampuan berpikir secara analitis dan logis.
Bahasa arab juga menyajikan untaian kalimat indah. Biasanya para santri merasa senang ketika membaca pepatah atau syiir tentang rindu dan cinta. Misalnya satu pepatah berikut:
الشَّوْقُ مُؤْلِمٌ، سَوَاءٌ كَانَ بِالْقَافِ أَوْ بِالْكَافِ
Artinya: “Rindu itu menyakitkan, baik tertulis dengan huruf qaf (syauq: rindu) maupun huruf kaf (syauk: duri)”.
Dari berbagai pepatah dan untaian Arab seperti contoh di atas, menjadikan para santri semakin senang mempelajarinya, terutama santri di usia puber sebagai media memahami bahasa Arab dengan baik dan benar.
Inilah pentingnya kita memahami ilmu nahwu dan sharaf dengan benar, agar kita mampu memahami Islam dengan benar dan mengantarkan kita menuju keharibaan Allah Swt dengan penuh kekhusyukan. Wallahu A’lam…
*Penulis : Pasha Nuzulul Asmi. (Santri Firqah Hidayati Mahmud. Kelas 1 MDK)