فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُۥ
“Maka barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebaikan, maka itu lebih baik baginya”. (Al-Baqarah: 184). Hal ini seiring dengan konteks khidmah para pengurus organisasi terbesar di Indonesia, dengan keikhlasannya, kesungguhannya, keistiqamamahannya, sehingga organisasi menjadi wadah dalam menginisiasi peradaban Nusantara ataupun dunia, terutama peradaban muslim. Ini didasari bahwa berkumpul berserikat dan bekerjasama dengan sesama manusia adalah sebuah kelaziman bagi seseorang, dalam rangka tolong-menolong, tukar menukar, saling membantu antara satu dengan yang lain dalam rangka mencapai cita-cita bersama. Kemarin lusa organisasi terbesar di Nusantara, Nahdlatul Ulama (NU) telah mengukuhkan kepengurusan baru untuk cabang kabupaten Blitar. Dengan susunan yang lengkap mulai mustasyar, syuriyah, tanfidhiyah juga pengurus lembaganya. Semua pengurus yang dikukuhkan telah berkomitmen untuk mengabdi kepada para Ulama, Kyai dalam wadahnya Nahdlatul Ulama. Institusi NU ini didirikan oleh para Kyai demi terwujudnya kemaslahatan Umat Islam dalam ranah kemaslahatan dalam menjalankan keagamaan, maslahah dalam politik, maslahah dalam ekonomi, maslahah dalam keluarga, maslahah dalam bidang ilmu dan pendidikan, maslahah dalam bidang pengelolaan laut, maslahah dalam bidang pertanian, maslahah dalam bidang hukum, maslahah dalam bidang pengelolaan hutan, maslahah dalam bidang pertambangan, maslahah dalam bidang perbankan, maslahah dalam bidang astronomi dan bidang kehidupan lain yang dinamis sesuai dengan dinamika masyarakat di mana NU berada.
Memang pada masa berdirinya NU, pada abad 20-an problematika masyarakat ketika itu adalah sekitar penguatan dan pemahaman keagamaan yang harus diperbaiki dengan jalur pendidikan sebagaimana yang telah dijalankan NU lewat pendidikan pesantren-pesantren di berbagai wilayah Nusantara. Aspek-aspek intelektualitas sebagai garapan utama ketika itu dijalankan dengan kurikulum-kurikulum pengajian di pesantren-pesantren NU. Dan Hasilnya dapat dipetik sekarang dengan banyaknya kader-kader NU yang mumpuni dalam bidang agama, baik di level nasional ataupun internasional. Misalnya dikenal KH. Hasyim Asyari, KH. Sahal Mahfudz, KH. Abdurahman Wahid, yang menurut penulis profil ketokohannya dapat dipetik sekarang ini sebagai hasil pendidikan keulamaan pada abad 19-20, dengan tantangan situasi dan kondisinya. Maka dalam hal ini garis merahnya adalah bagaimana pengurus sekarang ini dapat menghasilkan ulama-ulama masa depan 20-25 tahun yang akan datang. Dalam arti ulama yang dengan profilnya dapat menyelesaikan problem-problem keumatan pada zamannya. Karena menurut pemahaman penulis pengurus NU yang ada sekarang adalah produk masa lalu, terus kader ulama, pengurus NU 20 tahun yang akan datang ini yang harus dipersiapkan.
Misalnya sekarang ini suasana politik menganut sistem demokrasi yang membuka seluas-luasnya partisipasi publik untuk berekpresi sesuai dengan potensinya. Maka dibutuhkan kader ulama-ulama yang memang berkompeten dalam ranah politik. Dalam bidang pendidikan juga sudah sedemikian dinamisnya sistem pendidikan di Indonesia, baik dalam pendidikan Islam atau pendidikan nasional secara umum, baik di level pendidikan dasar atau pendidikan tinggi. Dalam bidang ekonomi lebih dinamis lagi karena pelaku ekonomi, regulasi ekonomi, pasarnya juga sudah sangat cepat pergerakannya. Dalam bidang agama dan pengamalan agamanya juga sama, dinamis, yang pergerakannya juga tidak kalah cepat dengan bidang-bidang yang lain. Untuk itu pengurus NU sekarang harus visioner tidak hanya menjalankan program kekinian, tetapi juga harus mengantisipasi tantangan untuk masa-masa yang akan datang demi keistiqamahan Lembaga untuk selalu berperan mengabdi untuk agama, umat manusia dan memberikan kontribusi terhadap peradaban dunia.
Ini hanya sekedar ilustrasi contoh saja ketika KH. Abdurahman Wahid menyosialisasikan ide membumikan Islam di Indonesia, dikandung maksud Islam dapat diamalkan muslim di Indonesia dengan santun, ramah, ceria, tanpa harus menghilangkan kebiasaan-kebiasan tradisi yang sudah di Nusantara ini. Misalnya simbol ke-Indonesia-an adalah memakai peci hitam. Maka seorang muslim dapat menjalankan ajaran akhlaq keagamaannya dengan memakai peci hitam, memakai sarung, memakai baju daerah dan atribut kedaerahan dalam menjalankan ibadah keagamaannya. Ide-ide semacam ini juga dilaksakan oleh tokoh-tokoh Indonesia yang lain, di antaranya KH. Hasyim Asyari, menggelorakan cinta tanah air, Ir. Soekarno selalu memakai peci hitam, KH. Ahmad Shidiq mempelopori untuk menerima Pancasila, KH. Thohir Wijaya mempelopori untuk membangun Masjid diseluruh wilayah Indonesia dengan arsitektur Indonesia, yang kemudian dinamakan masjid Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, KH. Sahal Mahfudh menggelorakan fiqih sosial dalam konteks ke-Indonesia-an, KH. Mahrus Ali Lirboyo mendirikan Universitas dengan Nama Tribakti dengan harapan para intelektual muslim pesantren dapat taat kepada Allah, Rasulullah dan selalu berperan dalam pembangunan bangsa bersama-sama pemerintah, KH. Wahab Hasbullah mengarang syair cinta kepada tanah Air, KH. Ma’ruf Amin mempelopori pembaruan dalam konteks ekonomi syariah, Syekh Nawawi Banten banyak mengarang kitab kuning dengan tujuan mempermudah muslim Nusantara mengamalkan ajaran agamanya.
Artinya kyai-kyai NU dahulu mempunyai visi sosial dan juga strategi pelaksanaan dari pemikirannya itu. Dengan visi dan strategi sebagaimana yang dilakukan oleh ulama itulah sekarang dapat dipetik hasilnya. Organisasi Nahdlatul Ulama menjadi sebuah wadah tranformasi dakwah yang rahmatan li al’alamin, hal ini tidak lepas dari visionernya dan strategi para kyai pada abad 19-20 terdahulu. Berangkat dari sini catatan pentingnya adalah mengabdi dalam sebuah organisasi tidak hanya memikirkan program-program kekinian, tetapi juga harus menatap masa-masa yang akan datang, supaya keberlanjutan Sejarah perjuangan bangsa dan agama di Nusantara ini tetap diwarnai oleh Nahdlatul Ulama. Sebagai organisasi dengan populasi umat terbesar di Nusantara bahkan di berbagai belahan benua di dunia ini.
Apalagi tantangannya dari abad satu menuju abad selanjutnya dakwah sebagaimana yang dilakukan oleh NU tidak semakin ringan. Dinamika masyarakat dengan pola hidupnya yang begitu dinamis tidak cukup hanya didekati dengan pendekatan ilmiyah empiris, rasional logis, spiritual-intiutif, tetapi nampaknya pendekatan yang lebih dari itu juga harus dilakukan. Maka strategi-strategi baru disesuaikan dengan garapan yang dibutuhkan, mutlak dibutuhkan. Di antara ide briliannya adalah ide fiqih peradaban (fiqh al-hadlarah) yang mendialekkan misi keagamaan dengan problematika masyarakat Nusantara dalam rangka memberikan kontribusi peradaban dunia. Tema fiqih peradaban di Nahdlatul Ulama memang ide cerdas sebagai jawaban pemikiran untuk konteks peradaban saat ini. Tema ini mungkin berlanjut dari ide ulama dahulu, tentang cinta tanah air dan nasionalisme, fiqih ke-Indonesia-an, membumikan Islam, Fiqih sosial, Islam Nusantara dan sekarang adalah fiqih perdaban. Dalam fiqih peradaban diskusinya meliputi semua aspek peradaban umat manusia, baik ekonomi, politik, keagamaan, hukum, sosiologi, hak asasi manusia, gender dan sebagainya.
Untuk itu dalam menjalani kepengurusan NU yang baru ini, idealnya dapat memberikan solusi-solusi dalam tingkatannya masing-masing, mulai anak ranting sampai Pengurus Besar NU dalam hal dinamika sosial Masyarakat yang terangkum dalam tema fiqih peradaban. Dengan begitu konsepsi fiqih peradaban oleh Pengurus Besar benar-benar mengakar, tersosialisasikan, dan membangun peradabannya masing-masing di tingkatannya. Misalnya di Blitar sebagai wilayah muslim yang mayoritas Nahdliyin, dengan sebutan bumi Bung Karno, sebisa mungkin pemikiran nasionalisme-religius dapat diaktualisasikan oleh Pengurus Cabang, majlis wakil cabang dan rantingnya. Hal ini mungkin dalam bentuk tranfromasi pendidikan nasionalisme di sekolah-sekolah NU dan Universitas Nahdlatul Ulama. Selain pelaksanaan pendidikan Aswaja sebagai materi dasar ke-NU-an. Atau mungkin lewat kesehatan, lewat kegiatan politiknya, lewat lakpesdamnya, lesbumi dan lembaga-lembaga lain yang dapat melaksanakan fiqih peradaban. Wa Allahu A’lam.
*Pengasuh PP Terpadu Al Kamal, fungsionaris NU Blitar dan Pengajar UIN Satu Tulungagung