Lezatnya Maqom Ma’rifat (Risalah Ngaji dan Ngabdi 126: Review Ahad Wage)

Ma’rifah adalah terminologi yang akrab dalam ilmu tashawuf, disamping istilah hulul, isttihad, seabagai tahapan akhir bagi seorang shufi dalam menempuh jalan thariqat-nya. Bagi seorang yang telah mencapai derajat ma’rifat, seorang shufi akan merasakan kebahagiaan, kenikmatan, yang tidak dapat diukur dengan kriteria materi-inderawi, tetapi kesaksiannya dinyatakan dalam pernyataan-pernyataan sebagai ungkapan kebahagiaan. Sebagaimana dalam kitab Kifayat Al-Atqiya’ Syekh Abu Bakar Al-Makki menjelaskan,

ان معرفة الله الذ الأشياء وانه لا لذة فوقها

Bahwasanya ma’rifat kepada Allah sesuatu yang paling lezat, nikmat tidak ada kelezatan di atasnya. Derajat ma’rifat yang dicapai oleh seorang salik digambarkan dengan kenikmatan yang tidak ada bandingannya selain bersama Allah, bermunajat kepadanya dan nanti di akhirat pun harapannya bisa bertemu secara langsung dengan Allah. Karena itu Syekh Abu Sulayman Al-Darani mengatakan, “bahwasanya Allah mempunyai ubad (ahli ibadah) yang merasakan lezatnya bermunajat, baginya tidak akan disibukkan dengan takut kepada siksa neraka dan harapan mendapatkan surga, apalagi sibuk dengan urusan duniawi”. Artinya kebahagiaan hakiki bersama Allah tidak akan dilalaikan oleh kesibukan-kesibukan urusan dunia atau pun akhirat. Pada umumnya orang awam beribadah selalu berharap mendapatkan sesuatu yang membahagiakan, menyenangkan, sesuatu yang menyenangkan dalam pandangan orang awam adalah surga (raja’ al-jannah) yang di dalamnya disiapkan berbagai kesenangan. Atau orang beribadah bertujuan, khauf al-nar takut mendapatkan siksa dan neraka. Atau juga orang yang sibuk berharap kesenangan duniawi, tusyghiluhum al-dunya, sehingga lalai kepada Allah. Maka menurut Abu Sulayman al-Darani orang yang mencapai maqam ma’rifat tidak akan bertujuan mendapatkan ketiga hal tersebut, tujuan tertinggi bagi dia yang paling membahagiakan adalah bertemu Allah, bersama Allah, “wujuhun yawmaidhin nadhirah”, di dunia maupun diakhirat tetap bersama Allah.
Hal ini diceritakan juga sebagian teman dari Ma’ruf Al-Karkhi (seorang sufi besar dari Baghdad yang wafat 200 H/815M) bertanya kepadanya, “wahai Aba Mahfudz, terangkanlah kepada kami, bagaimana dirimu bisa beribadah dengan rajin dan memutuskan diri dari ketergantungan kepada makhluq?”. Dijawab oleh Al-Karkhi, “dengan selalu mengingat mati (dhikr al-mawt)”. Kemudian ditanya lagi, “mengingat mati bagaimana?”, dijawab lagi, “dengan mengingat kubur dan barzakh”. Terus ditanya lagi, “maksud mengingat kubur bagaimana?”, dijawab lagi, “dengan selalu takut kepada siksa neraka dan berharap surga”, ditanya lagi, “bagaimana maksudnya?”  bahwasanya semuanya ini adalah milik Allah, jika engkau mencintai (mahhabah) Allah, maka Allah akan membuatmu lupa mu dari semua yang disebutkan, baik kematian, surga, neraka, siksa kubur. Seandainya engkau ma’rifah kepada Allah semuanya tentu sudah tidak akan engkau butuhkan. Cukup dengan ma’rifat kepada Allah membuat seorang hamba tidak lagi mempertimbangkan kematian, siksa kubur, alam barzakh, surga atau neraka, karena yang dia butuhkan hanya bertemu kepada Allah, bersama Allah (wa in kanat baynaka wa bainanu ma’rifatun kafaka jamiu hadha). Kalau diantara kamu dan Allah ada ma’rifah, maka semuanya sudah tercukupi. Artinya kematian akan menyenangkan dikarenakan akan segera bertemu Allah di akhirat, alam kubur dan barzakh juga tidak akan menakutkan merasa sebentar karena dia berbekal amal-amal shalih yang dapat menghibur dia di akhirat. Masuk surga dan siksa neraka bukan sesuatu yang utama dalam hati dan fikirannya, karena hati dan fikirannya telah tertutup oleh kecintaan, kerinduan, dan selalu bermunajat kepada Allah Swt.
Diterangkan oleh Isa Alaihi Salam,

اذا رأيت الفتى مشغوفا بطلب الرب تعالى فقد الهاه ذلك عما سواه

(jika engkau melihat seorang pemuda yang jungkun, penuh semangat beribadah dalam mencari Tuhannya maka kesungguhannya beribadah itu akan melalaikannya kepada selain Allah, dan yang diingat hanya Allah).  Dalam realitas di Masyarakat sejak zaman Nabi Saw. samapai sekarang masih bisa ditemui orang-orang yang penuh semangat berusaha sekuat kemampuannya untuk dapat sampai kepada Allah swt. dengan nama lain wushul. Sehingga dengan kesungguhannya itu akan melalaikan semuanya selain Allah. Misalnya di pesantren dapat ditemui praktik-praktik pemuda yang dengan totalitasnya belajar, penuh semangat dengan aktivitas ilmiyahnya, sehingga dia lalai dengan keramaian duniawi yang ada di sekitarnya, yang membahagiakan menurut dia adalah belajar, beribadah, khidmah di pesantren dimana dia  bermukim. Sehingga mungkin saking asyiknya beramal di pesantren dia lalai untuk bekerja, lalai untuk menikah, lalai untuk berinteraksi sosial di luar, karena yang ada dalam hati dan fikirannya adalah menempuh jalan menuju Allah Swt.
 Dikuatkan lagi oleh Abu Sulayman Al-Darani barang siapa saat ini disibukkan dengan urusan dirinya sendiri maka dia besok juga disibukkan dengan urusan dirinya sendiri,  barang siapa saat ini sibuk beribadah kepada Tuhannya maka dihari esok dia juga akan sibuk bersama Tuhannya. Paparan Al-Darani ini menarik untuk digaris bawahi, bahwa seseorang jangan hanya sibuk dengan pemenuhan kebutuhan individu duniawi saja yang tidak ada ending-nya, juga tidak akan membuat seorang hamba mendapatkan kebahagiaan, tetapi malah merepotkan, sibuk dengan relatifitas duniawi yang instan. Seorang hamba seharusnya di dunia ini harus sibuk bersama Allah, beribadah, mengurusi hal-hal yang bermanfaat untuk hidupnya sesudah mati. Dengan sibuk beribadah bersama Allah maka seseorang akan sibuk bahagia juga bersama Allah di akhirat kelak. Sebaliknya, kalau didunia hanya sibuk duniawi individual, maka diakhiratpun dia akan sibuk dengan kesusahan duniawinya, karena harus mempertanggungjawabkan semua perbuatan-perbuatan duniawianya.
 Maka tujuan orang-orang yang ahli ma’rifat adalah bersambung dan bertemu kepada Allah saja, hal ini yang paling membahagiakan hatinya.  Apabila ini tercapai sungguh kesusahan dan kesenangan akan hilang secara keseluruhan, hati seseorang akan tenggelam merasakan nikmatnya kebahagiaan bersama Allah (mustaghriqan bi naimiha), seandainya dia dijatuhkan ke dalam neraka dia tidak akan merasa tersiksa, dan jika dihadapkan kepada nikmat surga dia tidak akan berpaling darinya karena kesempurnaan nikmat ma’rifat Allah yang tidak ada kenikmatan di atasnya (al-ghayat allati laysa fawqaha ghayat).
*Penulis : Dr.KH. Asmawi Mahfudz, M.Ag (Pengajar UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung,  Fungsionaris NU Blitar Dan Khadim PPT al-Kamal)

Tags :

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *