Fiqih Siyasah tentang Pilkada (Risalah Ngaji Ngabdi 127)

Pada tanggal 27 November 2024, bangsa Indonesia melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak. Pilkada merupakan tahapan demokrasi yang dijalankan oleh bangsa Indonesia setelah kemarin telah dijalankan pemilihan umum untuk wakil rakyat dan presiden, wakil presiden dengan lancar, sukses, menghasilkan putra-putra terbaik bangsa untuk menjadi pemimpin, baik sebagai eksekutif atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai legislatif. Pada tahapan pilkada ini akan akan dipilih pemimpin daerah masing-masing yakni bupati/wakil bupati atau wali kota/wakilnya dan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, tentunya sesuai dengan perundang undangan yang berlaku diharapkan pilkada berjalan secara aman, tertib, lancar dan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang sesuai dengan kehendak dan idealisme rakyat.
Sebagai bagian dari hajat demokrasi ini, warga masyarakat sebagai pemilik suara dapat melihatnya dengan berbagai perspektif, mulai sudat pandang wahyu, rasionalisme, kacamata fiqih siyasah (sistem politik Islam), kondisi empiris-sosiologis masyarakat dan sudut pandang yang lain, senyampang relevan dengan konteks ke-Indonesia-an. Masyarakat Indonesia  adalah masyarakat yang agamis, religious, artinya dalam menjalankan tata kehidupan berbangsa dan bernegara selalu mendasarkan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya masing-masing, baik menyangkut regulasinya, etik pelaksanaannya dalam rangka mensukseskan hajatan besar rakyat untuk memperoleh pemimpin yang ideal menurut pemilik suara yaitu masyarakat.
Berhubungan dalam konteks pemilihan kepala daerah, perspektif fiqih telah diajarkan memilih seorang pemimpin hukumnya adalah fardlu kifayah. Ini dapat didasarkan kepada dawuh jeng Nabi Saw “idha kanu tsalastatun fi safarin, fa al-yuammiru ahadahum” apabila tiga orang dalam perjalanan, maka sungguh jadikanlah salah satunya sebagai pemimpin”. Dari dawuh ini dipahami adanya perintah untuk memilih pemimpin dalam sebuah kelompok, yang bertugas mengatur anggota atau warganya untuk mencapai tujuan bersama yakni kebahagiaan dunia dan akhirat. Filosofi adanya kepemimpinan dalam ajaran Islam memang menjadi topik utama dalam kajian fiqih atau hukum Islam. Dalam bab kitab-kitab kuning (kutub al-shafra’) selalu ada pembahasan tentang imamah, imarah, siyasah yang membahas tentang teori-teori dalam kepemimpinan, mulai dari pengertiannya, dasar hukumnya, syarat-syarat jadi pemimpin, adab seorang pemimpin sampai kepada sejarah kepemimpinan dalam Islam. Ini menunjukkan bahwa urgensitas dan perhatian Islam dalam masalah kepemimpinan yang memang harus ada dalam setiap masyarakat.  Sebagaimana mendasarkan dari dalil hadits di atas sebagai perintah untuk mengangkat seorang pemimpin untuk mengantarkan masyarakat mencapai tujuannya (mura’iyah li mashalih al-ibad).
Dalam sebuah ungkapan kepemimpinan politik, dijelaskan, “al-imamah manshubatun li hirasat al-din wa siyasat al-dunya”, kepemimpinan diangkat untuk menjaga agama dan mengatur urusan dunia. Maksudnya dari ungkapan itu tugas utama kepemimpinan dalam perpektif teori politik Islam ada dua, yaitu menjaga agama supaya tetap berlangsung di tengah-tengah masyarakat. Artinya kewajiban-kewajiban agama harus difasilitasi oleh negara supaya pelaksanaannya dapat terwujud dengan baik, teratur, tertib sesuai dengan disyariatkannya agama itu sendiri. Misalnya tentang pengamalan ajaran ibadah, mengatur perilaku pengamal ajaran agama, pengaturan tempat ibadahnya, perlindungan terhadap penganut ajaran agama, relasi antara agama satu dengan agama yang lain, sampai dalam konteks ke-Indonesia-an pemerintah juga mengatur tentang pelaksanaan transformasi ilmu-ilmu agama yang di dalamnya adalah ada perguruan tinggi keagamaan, madrasah diniyah, pondok pesantren dan institusi pendidikan agama yang lain, harus difasilitasi oleh negara sebagai tugasnya dalam mewujudkan terselenggaranya praktik keagamaan.
Tugas kepemimpinan selanjutnya adalah mengatur urusan duniawi (siyasah al-dunya). Kebutuhan masyarakat yang dipimpin dalam kehidupannya, baik sebagai individu maupun kelompok harus dijamin oleh pemimpinnya. Misalnya kebutuhan pokok sandang pangan papan, kebutuhan jaminan keamanan, kebutuhan pendidikan, kebutuhan untuk berkarya, kebutuhan untuk hidup yang layak dan sejahtera (welfare), kebutuhan untuk bekerja, kebutuhan untuk bersosialisasi dalam kelompoknya dan kebutuhan eksistensi hidupnya. Kemudian setiap anggota masyarakat mempunyai kebutuhan masing-masing yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban yang melekat dalam diri tiap-tiap anggota. Seorang pemimpin harus melayaninya supaya varian kebutuhan, hak dan kewajiban masing-masing rakyatnya benar-benar ada garansi, terjamin kebaikannya. Maka dalam kaidah siyasah diberlakukan “tasharuf al-imam ala ra’yat manuthun bi al-maslahah” kebijakan seorang pemimpin atas rakyatnya harus berdasarkan kemaslahatan. Sistem pengaturan-pengambilan keputusan, kebijakan apapun oleh seorang pemimpin yang berhubungan dengan urusan rakyat benar-benar harus bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyatnya.
Dua hal pokok itulah tugas kepemimpinan menurut teori politik Islam, yakni mengurusi aspek agama dan urusan duniawi dari rakyat. Aspek agama yang dilaksanakan oleh para ulama harus dilindungi dan difasilitasi oleh pemerintah, demikian juga aspek duniawi dalam pemenuhan kesejahteraan umat juga harus didukung oleh para ulama. Maka tidak heran kemudian ada dawuhshinfani idha soluha solahat al-bilad, wa idha fasada fasadat al-bilad alulama’ wa al-umara’ ”, ada dua kelompok tatkala keduanya baik maka tatanan masyarakat juga baik, tatkala keduanya rusak maka negara juga akan rusak, keduanya adalah ulama dan umara’.
Al-Ghazali dalam konsepsi politik Islamnya kerjasama antara ulama dan politik, keterkaitan antara agama dan kebangsaaan dengan “Tauamani” saudara kembar,  yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain. memang sesuai dengan tujuan awal dalam sebuah organisasi masyarakat harus ada pemimpin, sebagaimana di wilayah Indonesia pemimpin yang berasal dari struktur pemerintahan, juga pemimpin kultural, berbasis adat yang ada dalam masyarakat, juga pemimpin agama, para kyai-ulama dan sebutan lain untuk mereka-mereka yang melakukan pemberdayaan kepada masyarakat melalui pengajaran agama.
Sehingga dalam konteks sekarang, pemilihan kepala daerah dapat diakomodasi dari beberapa pemimpin yang telah terjun di masyarakat, baik dari tokoh adat, tokoh agama atau pemimpin struktural yang memang sudah lama memimpin di masyarakatnya. Dari mereka-mereka dapat diakomodasi suara-suara rakyat, karena mereka terbiasa menampung aspirasi masyarakatnya.  Dengan kepemimpinan yang berasal dari masyarakat itulah sebenarnya Islam menformulasikan dalil-dalilnya untuk teori politik Islam. Salah satunya adalah musyawarah, sebuah aktivitas yang menempatkan antara satu orang dengan orang lain dalam satu posisi, satu tujuan, satu kegiatan. Maka dengan musyawarah inilah dahulu Rasulullah juga mencontohkan  dalam rangka membangun pondasi Masyarakat muslim baik di Mekkah maupun di Madinah.

مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَكْثَرَ مَشُوْرَةٍ لِاَصْحَابِهِ مِنْ رَسُوْلِ الله صلّى الله عليه و سلم

(Saya tidak pernah melihat seseorang yang paling banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya dibanding Rasulullah SAW).
Sekarang tinggal umatnya, yang harus melaksanakan sunnah Rasul dalam membina masyarakat, sehingga dalam diri Rasul melekat pemimpin negara, pemimpin agama, pemimpin keluarga, pemimpin perang. Wa Allahu A’lam!
Penulis : Dr. KH. Asmawi Mahfudz, M.Ag. (Khadim PP Al Kamal, Pengajar UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung)

Tags :

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *