Sekelumit Manaqib Imam Syafi’i (Risalah Ngaji dan Ngabdi 133)

وقال ما أفلح في العلم إلا من طلبه بالقلة

Imam Syafi’i berkata, “Tiada yang beruntung dalam menuntut ilmu kecuali orang yang mengejarnya secara total.” Kata ini terdapat di manaqib Imam Syafi’i yang ditulis oleh Fakhrudin Al-Razi, sebagai prototipe tulisan ini. Akhir bulan Rajab dan awal dari Sya’ban, menjadi hari bersejarah bagi pengikut Imam Syafii, atau yang dikenal dengan Syafi’iyah. Karena di akhir Rajab lah Imam Syafii wafat, untuk itu di sini penulis ingin menulis sedikit tentang manaqib Al-Syafii yang merdasarkan paparan Imam Fahrudin Al-Razi,  untuk mendapatkan pemahaman, pengetahuan atau wasilah ilmiyah dari Imam Syafii. Para ulama sepakat bahwa Imam Syafii dilahirkan pada tahun 150 H tahun dimana saat itu juga wafat Imam Abu Hanifah. Dan yang masyhur dari ahli sejarah, Imam Syafii wafat pada malam Jumat, saat setelah isya’, pada tanggal akhir Rajab tahun 204 H. Maka umur Syafi’i  saat wafat adalah 54 tahun.
Imam Rabi’ mengatakan, “ketika saya selesai dari pemakaman Jenazah Al-Syafi’i saya telah melihat hilal bulan Sya’ban. Imam Syafii dikebumikan di maqbarah yang diberi nama Al-Maqtham, tempat pemakaman golongan Qurays, di antara kuburan Bani Abd Hakam.”  Masih menurut Imam Rabi’, bahwa sebelum wafatnya Al-Syafii dia bermimpi, bahwa Adam AS wafat dan banyak masyarakat yang mengiringi Jenazahnya. Dalam hal ini saya tanyakan kepada ahli ilmu, terus dia menjawab, ” Yamutu a’lamu ahl al’ardli, karena Allah SWT dawuh, “wa ‘allama al-asmaa kullaha”, Allah mengajarkan kepada Adam beberapa nama. Maka selang beberapa waktu benar terjadi bahwa Imam Syafi’i wafat.
Dinukil dari Al-Syafi’i, bahwa dia dilahirkan di Ghaza kemudian pada umur 2 tahun dia pindah ke Makkah, terus ibunya khawatir dia akan terlantar, kemudian ibunya berkata, “Bertemulah kepada keluargamu, maka kamu akan menjadi seperti keluargamu yang lain.” Kemudian ibunya menjenguknya di Makkah pada saat Imam Syafi’i umur 10 tahun. Ibu dari Imam Syafi’i mempunyai cita-cita untuk Imam Syafi’i dua hal, yaitu bidang memanah (al-ramyu) dan ilmu. Maka dalam hal memanah Imam Syafi’i saat itu tidak pernah meleset dan selalu tepat sasaran. Kemudian banyak masyarakat mengatakan “Anta wa allahi fi al-ilmi aktsaru minka fi al-ramyi, dalam urusan ilmu lebih baik dibanding dengan urusan memanah.”
Tentang performan Imam Syafi’i para ulama mengatakan bahwa dia adalah orang yang berperawakan tinggi, yang bagus secara fisiknya sehingga dapat menarik manusia untuk senang kepadanya, yang bersih bajunya, fasih lisannya, berwibawa, banyak berbuat kebaikan kepada manusia yang lain, dia juga memakai wewangian karena memang ajaran sunnah. Gambaran kefasihan dari Al-Syafi’i, ulama menjelaskan saat dia mengeluarkan lidahnya bisa sampai kepada hidungnya, hal ini menunjukkan dia memang baik dalam bertutur kata sampai kepada kualitas fashahah-nya.
Imam Syafi’i berkata, “Suatu ketika saya bermimpi bertemu kepada Rasulullah SAW., terus Nabi bertanya “wahai anak laki-laki kamu itu siapa?”, dijawab oleh Al-Syafi’i, “saya dari golongan Tuan, wahai Rasul.”  Lalu Rasul berkata, “mendekatlah kepadaku”, kemudian Rasulullah membuka mulutku kemudian meniup ke lidah, ke dalam mulut dan dua bibirku. Kemudian seorang yang bisa menafsirkan mengatakan bahwa “kamu akan menjadi imam dalam hal ilmu dan akan mengetahui hakikat sesuatu. Juga suatu saat Al-Syafi’i dalam tidurnya bermimpi ketemu Ali bin Abi Thalib, terus dia mengucapkan salam kepadanya, menjabat tangannya dan memakaikan cincin untuknya. Kemudian mimpi itu ditafsirkan tentang  berjabat tangan itu kamu akan menjadi aman dari siksa, sedangkan Ali memakaikan cincin kepadanya dimaknai kemasyhuran namanya seperti kemasyhuran Ali bin Abi Thalib, mulai dunia timur sampai barat.
Al-Syafi’i berkata, tatkala dia mengkhatamkan Alquran kemudian belajarnya dilakukan di masjid bersama para ulama, menghafalkan hadits dan berbagai masalah-masalah ilmiyah. Saat itu posisinya masih belum terkenal, sebagai orang yang kekurangan dalam ekonomi, belum mampu untuk membeli kertas untuk menulis. Dalam keadaan seperti ini Imam Syafi’i mengambil tulang untuk menulis ilmu dengannya, juga meminta sisa-sisa kertas yang tidak dipakai kepada para staf pemerintah dan menulis di dalamnya.
Perlu diketahui bahwa al-Syafii pada mulanya belajar kepada Muslim bin khalid, terus mendengarkan kabar bahwa kemudian dia mendengar tentang Imam Malik bin Anas. Terus Syafi’i berkehendak untuk mengaji Al-Muwatha’ kepada Imam Malik di Madinah. Saat ketemu Imam Malik, nampaknya Imam Malik mempunyai firasat, terus menanyai  Syafi’i, “siapa namamu?” dijawab, “Muhammad”. Malik berkata, “bertaqwalah kepada Allah dan jauhilah ma’siyat, suatu saat kamu akan mempunyai beberapa kelebihan.” Imam Malik melanjutkan, “sesungguhnya Allah telah meletakkan nur di dalam hatimu, maka janganlah dipadamkan dengan melakukan ma’siyat”. Kemudian bertanya lagi, “besok kamu datang untuk belajar Al-Muwatha’ dari siapa?”, Al-Syafi’i menjawab, “saya membacanya dengan hafalan.  Kemudian besok saya kembali untuk memulai belajar al-Muwatha’. Saat membacanya suatu saat saya ingin menghentikannya, khawatir Imam Malik akan bosan, tetapi karena bacaan saya bagus, maka dia malah menyuruh untuk mengulang-ulang bacaan. Saya belajar Muwatha’ kepada Imam Malik sampai dia wafat.”
Di saat Al-Syafi’i mulai mencapai derajat kepakarannya, banyak dari orang yang hasud mempropaganda, melapor kepada penguasa saat itu yakni Harun Al-Rasyid, bahwa Muhammad bin Idris Al-Syafi’i adalah orang yang berbahaya. Kemudian penguasa menangkap Imam Syafi’i membawanya dari Yaman menuju Iraq. Inilah yang menjadikan sebab Al-Syafi’i mendapatkan mihnah, ujian. Dikisahkan bahwasanya Syafi’i masuk Iraq pada tahun 177 H, dan dia menetap di sana selama 2 tahun, mengarang kitab yang pertama, alqadim yang dinamakan Al-Hujah, terus keluar dari Iraq. Diceritakan Kembali bahwa suatu saat Al-Syafi’i Kembali lagi kepada Baghdad tahun 199 H, menetap beberapa bulan. Kemudian dia keluar ke Mesir menetap di sana sampai meninggal dunia, di mesir ini dia menulis kitabnya al-jadid.
Pada akhir hayatnya pernah suatu ketika Imam Syafi’i sakit parah sampai keadaannya mengkhawatirkan, saat itu sakitnya saking parahnya sampai mengeluarkan darah yang banyak, dalam keadaan sedang di atas kendaraan, karena terlalu banyak mengeluarkan darah sampai memenuhi bajunya, mengenai alas kakinya, kendali untanya.
Dari sedikit Riwayat yang dipaparkan oleh Imam Fakhrudin Al-Razi ada beberapa catatan bahwa Al-Syafi’i dalam perjalanan hidupnya memang menekuni jalan keilmuan, yang tidak mudah untuk dilalui di antaranya keterbatasan ekonomi. Tetapi dengan ketekunan dan proses belajar yang istiqamah akhirnya mencapai derajat keilmuan yang menjadi rujukan masyarakat muslim seluruh dunia. Imam Syafi’i mempunyai modal yang telah ditaqdirkan oleh Allah mempunyai silsilah keturunan yang sambung nasabnya kepada Rasulullah. Dalam berjuang selalu mendaptkan tantangan dari orang hasud, iri dengki terhadap kebaikan dari Al-Syafi’i saat mengajarkan ilmu dan dakwahnya. Tulisan ini hanya sekelumit untuk mengenang sebagian kebaikan dari Al-Syafi’i yang tentunya referensi yang lebih luas penting untuk dibaca sebagai pendalaman mengetahui Al-Syafi’i baik dari sisi silsilahnya, tradisi akademiknya, kehidupan pribadinya, beberapa pemikirannya, sehingga Al-Syafii disimpulkan sebagai seorang Imam Madhab, ahli lughah, ilmuwan, seorang zahid, nashir al-sunnah, penemu ilmu ushul fiqih, dan sebagainyya. Wa Allahu A’lam.
(Referensi: Fahrudin al-Razi, Manaqib al-Imam al-Syafii, Kairo: Maktabah Kuliyyat al-Azhariyah, 1986, hal. 34-40)
*Penulis : Dr. KH. Asmawi Mahfudz, M.Ag( Pengajar UIN Sayyid Ali Rahmatullah, Fungsionaris PC NU, Khadim PP Terpadu al-Kamal Blitar dan Yayasan Bayturahman Kediri)

Tags :

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *