Pesantren Lirboyo & Ekspektasi Keberkahan

Imam Fakhrudin al-Razi (w.606 H) dalam tulisannya “Manaqib al-Imam al-Syafii” mengutip sebuah nasehat,

لم يعط احد فى الدنيا شيئا افضل من النبوة، ولم يعط احد بعد النبوة افضل من العلم والفقه ولم يعط فى الاخرة شيئا افضل من الرحمة

“Tidaklah seseorang di dunia diberi sesuatu yang lebih utama dibanding derajat kenabian, Tidaklah seseorang diberi sesuatu setelah kenabian lebih utama dibanding ilmu dan Fiqih, dan tidaklah diberi sesuatu di akhirat yang lebih utama dibanding Rahmat Allah.”
Nasehat dari al-Syafii ini dapat dipahami, pemberian Allah di dunia ini yang paling utama adalah derajat kenabian dan ilmu yang dimiliki oleh para ulama, ilmuwan. Sedangkan di akhirat pemberian Allah yang paling utama adalah rahmat, kasih sayang Allah. Dari kedua pemberian Allah inilah manusia akan mendapatkan keselamatan kebahagiaan dunia dan Akhirat. Hal ini sesuai dengan pesantren tercinta Pondok Pesantren Lirboyo, di mana para santrinya mendapatkan predikat ilmuwan, mempunyai kapasitas ilmiah, menjadi ulama pewaris para nabi, menjalankan ridalah kenabian di daerahnya masing-masing. Tentunya dengan modal ilmu dan dakwahnya diakan akan mendapatkan Rahmat Allah Swt.
Tulisan ini sebagai gambaran subjektif dari penulis seiring dengan digelarnya Harlah POndok Pesantren Lirboyo ke-115 tahun, satu abad Madrasah Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo yang dirangkai dengan Musyawarah Nasional Himasal ke-5, Munas 2 Lembaga Itihadul Mubalighin, Silatnas Istikmal, Munas Ikatan Alumni Tribakti Lirboyo Kediri, dan kebetulan penulis adalah pernah mengenyam mengaji di Lirboyo baik di MHM, di HM Al-Mahrusiyah dan Universitas Islam Tribakti angkatan 1994. Ini terjadi setelah menamatkan sekolah di Madrasah Aliyah Negeri Kediri, orang tua mengarahkan untuk kuliah di Institut Agama Islam Tribakti Lirboyo Kediri dan Ngaji di Pondok Pesantren Lirboyo, dengan beberapa istikharah, Pertama, ketika ngaji dan kuliah di Lirboyo akan dapat mempertahankan tradisi kajian kitab-kitab kuning yang menjadi sumber ilmu bagi muslim untuk istiqamah mengamalkan ahlu sunnah wa al-Jamaah, yang ini sudah diketahui bersama bahwa Pesantren Lirboyo Kediri adalah pesantren yang otoritatif dalam kajian-kajian kitab kuning, berbasis ilmu-ilmu ahlu sunnah wa al-jamaah. 
Kedua, dapat menjalani dua sistem pendidikan sekaligus (double duty), yakni pendidikan madrasah diniyah di Madrasah Hidayatul Mubtadiin (MHM) dan kajian sekolah formal di Universitas Islam Tribakti. Dengan mengikuti dua sistem pendidikan sekaligus diharapkan dapat memperoleh ilmu, legalitas secara mapan, kitab kuning juga ijazah sebagai bekal untuk meraih masa depan (futuristic). Ketiga, mayoritas pengajar adalah kyai atau ulama, yang diharapkan keberkahannya, doanya untuk santri-santrinya. Ini dapat dibuktikan bahwa para dosen dan pengajar di madarasah diniyah ataupun universitas adalah kyai. Ketika itu di pesantren, mengaji kepada KH. Idris Marzuki, KH. Anwar Manshur, KH. Imam Yahya Mahrus, KH. Abdullah Kafabihi, KH. Hasan Zamzami, KH. An’im Falahudin, KH. Azis Manshur, KH. Ma’shum Jauhari, KH. Habibullah Zaini, KH. Maftuh Basthul Birri, KH. Bahru Marzuki, KH. Athoillah Sholahudin, KH Ali Zainal Abidin Nganjuk, Kyai Abdul Karim Nganjuk, KH. Bisri Affandi Trenggalek, KH. Umar Shohib dan kyai-kyai yang lain. Di Kampus juga demikian para dosen juga para ulama, di antaranya KH Imam Yahya Mahrus, KH. Harun Musthofa Mahrus, KH. Manshur Adnan, KH. Malik Bahri, KH. Ibn Rabi’, Nyai Hajah Lilik Nurcholidah, KH. Asfiya’ Hamidah, KH Abdul Halim Mustofa, KH. Yustafad, KH Turmudi Abrar, KH Muhsin, KH. Nurakhid, KH Maftukhin dan kyai lainnya.
Keempat, pesantren adalah pilihan prioritas dalam rangka meneruskan perjuangan para ulama. Ini sudah diakui menjadi konsensus bersama bahwa kaderisasi ulama di nusantara dapat dilakukan dengan kajian ilmu-ilmu keislaman di pesantren, karena memang sistem pesantren Lirboyo dilaksanakan dalam rangka mencetak kader-kader Ulama. Ini dapat dilihat dari jenjang kajiannya yang pada waktu itu dimulai dari ibtidaiyah, tsanawiyah, dan aliyah, yang semuanya ditempuh selama 12 tahun secara kontinuitas di pesantren. Maka dengan sistem pengajian demikian para tamatan atau santri yang ngaji di Lirboyo akan siap meneruskan perjuangan para Ulama berbekal ilmu-ilmu Islam yang mapan dari sisi kualitas, baik secara personality ataupun dari sisi intelektualitasnya.
Kelima, diharapkan keberkahan dari Pondok Pesantren Lirboyo. Menurut orang tua penulis, pesantren yang banyak menebarkan keberkahan adalah Lirboyo. Pendapat ini didasarkan eksperiences dari lingkungan sekitar, para alumni Pesantren Lirboyo baik yang di madrasah diniyah ataupun sarjana Tribakti adalah mereka yang banyak berperan di tengah-tengah masyarakat, terutama peran pendidikan madrasah diniyah, organisasi Nahdlatul Ulama, Majlis Ulama Indonesia, di struktur birokrasi pemerintah, para politisi, enterpreneur, juga mayoritas adalah kyai di lingkungannya masing-masing. Peran-peran sosial inilah yang kemudian disebut oleh orang tua dengan banyaknya keberkahan para santri alumni Lirboyo.
Keenam, dengan menjadi santri Lirboyo akan berkumpul dengan sesama santri di seluruh nusantara, atau bahkan dari dunia muslim yang lain. Berkenalan, bersahabat, berinteraksi dengan sesama santri dari berbagai wilayah nusantara atau dunia muslim yang lain, akan terbentuk jaringan santri nusantara yang dalam bahasa Prof. Azyumardi, terjalin jaringan “Ulama Nusantara” melalui pendidikan di Pesantren Lirboyo. Dengan begitu pengayaan wawasan bagi santri akan terealisasi karena secara simultan seorang santri melakukan pertakuran informasi sosial budaya, ilmu dan tradisi.
Alasan-alasan rasional inilah yang akhirnya dapat menurunkan idelisme intelektual anak muda kala itu, yang menginginkan studi di kota-kota besar, yang pada waktu itu dapat disimpulkan bahwa ngaji di manapun yang terpenting adalah nilai kemanfaatan dan keberkahan dari ilmu yang didapatkan. Ini selalu menjadi jargon, mendasarkan kepada dawuh jeng Nabi Saw, “khayrun al-Nas Anfauhum li al-Nas”, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi yang lain. Maka ketika para alumni Lirboyo yang telah berperan aktif di tengah-tengah masyarakat, telah menjadi bukti tentang institusi pesantren terbaik, yakni Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.
Untuk mencapai Ultimate Goal, tujuan tertinggi dari ilmu yang dikaji, selain kuliah di Universitas Islam Tribakti, diarahkan masuk di Madrasah Hidayatul Mubtadiin (MHM), dengan jenjang madrasah tsanawiyah. Pada jenjang ini para santri dituntut keseriusannya dalam pengajiannya sehari-hari yang bermuatan bahasa arabnya Alfiyah Ibn Malik, Fiqihnya Fath al-Muin, Kaidah fiqihnya adalah Faraid Bahiyah, Tafsirnya Jalalain, Haditsnya Riyadh al-Shalihin, Akidahnya adalah Jawahir al-Kalamiyah dan Kifayat al-Awam, Ilmu Tafsir, Fiqih Mawaris Idat alfaridl, ilmu manthiq, ilmu ‘arudl, ditambah lagi pengajian-pengajian kepada para kyai yang telah terjadwal di serambi masjid  induk.  Dari muatan materi tingkat tsanawiyah di madrasah diniyah ini saja sudah dapat dipahami bahwa kurikulum Pesantren Lirboyo memang mencetak para kyai atau ulama dengan kapabilitas ilmu agama Islam yang mumpuni, apalagi kalau santri dalam melakukan kajian tidak hanya berpegang kepada kitab-kitab matan, tetapi juga didampingi dengan kitab syarah dan hasiyah. Misalnya Ianah al-ThalibinAsybah wa al-NadhairHasiyah al-Shawi, Syarah Alfiyah, berbagai kitab al-Tafasir, Kutub al-Sittah, Muqaranatul Madhahib, materi tarikh sejarah, dan berbagai macam fan ilmu lainnya. Ini baru tingkat madrasah di level menengah, belum lagi di level madrasah Aliyah yang kajiannya banyak membekali para santri wawasan ilmu keislaman yang sifatnya komparatif, perbandingan, dan lintas disiplin. Misalnya dalam ilmu tashawuf santri ngaji Ihya’ Ulumudin, dalam bidang fiqih santri ngaji Qulyubi wa Umayrah, dalam bidang sastra santri ngaji Uqud al-Juman dan ilmu-ilmu keIslaman yang bersifat pengembangan dan penalaran.
Tradisi akademik-Ilmiyah santri Lirboyo yang mengikuti pembelajaran di Madrasah Diniyah di atas, juga sama dengan system pembelajaran di kampus dalam hal kualitasnya. Di universitas para santri mahasiswa adalah mereka-mereka yang telah selesai dari MHM atau pesantren-pesantren lain, sehingga kalau saat diskusi mata kuliah dosen dan mahasiswa sama-sama memegang referensi kitab kuning yang otoritatif. Misalnya tatkala kuliah tafsir mahasiswa melakukan diskusi dengan adu argumentasi berdasarkan kitab Fathul Bari, Naylul Author, Rawaiu Albayan, Fiqh Alislami wa Adilatuhu, Fiqh Sunah. Ini sebagai gamabaran kompetensi mahasiswa di Universitas Tribakti, dengan didampingi oleh dosen-dosen yang memang berlatar belakang kyai. Tidak hanya itu saja teman-teman mahasiswa Tribakti yang aktif dalam organisasi mahasiswa selalu uptudate terhadap wacana-wacana filsafat kontemporen ataupun pemikiran-pemikiran modern saat itu, baik berbasis kajian filsafat Islam ataupun filsafat barat.
Maka cita-cita pendiri Universitas Islam Tribakti yakni, Allahu Yarham KH. Mahrus Ali benar-benar terwujud yakni para santri Lirboyo disamping mengaji di Madrasah, juga kuliah di Tribakti, dengan harapan menjadi Ulama Intelektual. Artinya sisi keulamaan terbetuk dari kajian-kajian di pesantren, sisi intelektualitasnya terasah di universitas. Dengan tujuan itulah kemudian keberkahan santri Lirboyo dapat dilihat perannya di berbagai wilayah, dalam berbagai bidang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka semuanya menjalankan misi sesuai dengan motto Tribakti, Athiu Allah wa Athi’u al-rasula wa Uli al Amri minkum, taat kepada Allah, Taat kepada Rasulullah dan kepada pemerintah. Akhirnya relisasi dari cita-cita pendiri ini dapat diimplementasikan oleh para alumni di tengah-tengah masyarakatnya. Walaupun mereka santri pesantren dan alumni kampus Islam tetapi perannya di semua lini masyarakat Indonesia. Mulai guru, kyai, politisi, da’i, pengusaha, advokat, ekonom, praktisi perbankan, aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat, aktifis ormas, petani, pedagang, budayawan dan sebagainya, semuanya adalah cermin dari keberkahan Pondok Pesantren Lirboyo.
Selain itu satu hal penting yang membuat tradisi akademik dan personalitinya terwujud sesuai dengan himmahnya adalah tarbiyah dan irsyadat para kyai Lirboyo yang istiqamah untuk santri-santrinya, baik yang muqim di pesantren induk atau unit-unit asrama yang lain semua adalah santri Pesantren Lirboyo. Kebetulan penulis ditakdirkan untuk muqim di HM Putra Al-Mahrusiyah yang digembleng oleh Kyai Imam Yahya dalam berbagai metode pendidikan, mulai roan, bersih-bersih, istighosah, puasa, ngaji kitab, diskusi, masalah keluarga, politik, berorganisasi, berhadapan dengan pejabat dan pendekatan lain, lahir dan batin, baik olah raga, olah rasa, olah hati, olah pikir semuanya diberikan oleh romo kyai. Disamping kita juga mengaji kitab-kitab kuning berjilid-jilid yang otoritatif sehari-hari bersama Kyai Idris marzuki, Kyai Anwar manshur, Kyai Abdullah Kafabihi, Kyai Hasan Zamzami, Kyai Habibullah Zaini, Kyai Anim Falahudin, KH Maksum Jauhari. Sehingga pengajian dan pendidikan ala Lirboyo dari para keistiqamahan para kyai inilah sebenarnya yang menjadi kelebihan tersendiri, di atas sistem pendidikan yang lain.
Terakhir selamat Hari Ulang Tahun Pondok Pesantren Lirboyo yag ke-115 tahun, satu abad Madrasah Hidayatul Mubtadiin (MHM), Musyawarah Nasional Himasal dan Lembaga Itihadul Mubalighin. Selamat Munas Ikatan keluarga Tribakti (Ikabakti) dan Silaturahim Nasional Istikmal, semoga santri-santri selalu mendapatkan kemanfaatan dan keberkahan ilmu, doa dari para kyai untuk memberikan kontribusi dalam pengajaran ilmu-ilmu keislaman, pembangunan Bangsa Indonesia dan melakukan pembaruan dalam konstruksi peradaban dunia. Aamiiin.
*Tulisan Edisi Selamat Harlah, Munas, dan Silatnas; oleh Dr. KH. Asmawi Mahfudz, M.Ag., Santri angkatan 1994 dan saat ini sebagai Pengasuh PP Terpadu Al Kamal Blitar
**Tulisan ini juga diunggah di https://elmahrusy.id/pesantren-lirboyo-ekspektasi-keberkahan/

Tags :

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *