Tulisan ini adalah sebagian catatan dari kondisi empiris pelaksanaan Ramadhan, Syawal yang dirangkai dengan halal bi halal. Sebelum memasuki hari raya kita seperti rutinitas tahunannya didahului dengan beribadah di bulan Ramadhan, di antaranya puasa Ramadhan, shalat-shalat sunnah, membaca Alquran minimal 2 juz sehari, membacakan kitab kepada santri pesantren dan para guru, tahun ini membaca Fathul Muin untuk para mahasantri, Ihya’ Ulum al-Din dan Mauidhat al-Mu’minin untuk mahasantri dan para guru, Fath al-Qarib untuk semua santri, Uqud al-Lujain untuk mahasantri, Tafsir Jalalayn dan Minhaj al-Abidin untuk masyarakat umum dan kyai-kyai mushola. Tetapi juga menjalani rutinitas mengajar di kampus dengan mengajar Filsafat Hukum Islam untuk S1, Legal Maxim dan studi Alquran, Sejarah peradaban dan pemikiran untuk program Magister. Dari sisi aktivitas nampaknya Ramadhan memang harus lebih giat karena kegiatan mengajar dan mengajinya nampaknya lebih banyak, sehingga kadang diprotes oleh istri dan anak karena tidak pernah diajak jalan keluar untuk menikmati indah ramainya bulan Ramadhan sebagaimana muslim yang lain ketika mencari takjil, sahur, belanja pakaian dan sebagainya. Rutinitas Ramadhan itu sesuai dengan arahan jeng Nabi untuk membentuk pribadi-pribadi yang bertakwa, yang secara empiris maksudnya adalah lebih produktif, lebih bermanfaat baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيْمَا نًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
(barang siapa yang beribadah dengan iman dan Ikhlas maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu)
Di pertengahan Ramadhan biasanya kita mengadakan Nuzul Alquran, sebagai bagian dari kemuliaan Ramadhan yang harus dikenang, diapresiasi, sehingga nilai-nilai Alquran sebagai pedoman bagi seorang muslim tetap terpatri bahkan semakin meningkat dengan adanya Ramadhan. Terutama sebagai seorang guru, kyai, dosen tidak hanya memikirkan diri sendiri, tetapi juga harus memikirkan generasi-generasi didik kita supaya tetap memegang teguh Alquran sebagai kitab suci yang harus dibaca setiap hari, dipedomani, sebagai sumber ilmu. Maka kita mengajak semua insan untuk menyiapkan generasi-generasi muslim yang shalih pasca kita, 20 tahun yang akan datang atau lebih, adakah mereka-mereka masih tetap memegang ajaran-ajaran Alquran sebagaimana yang kita lakukan. Kita tidak boleh hanya memikirkan diri sendiri menjadi orang yang shalih, tetapi anak didik kita, santri, masyarakat semakin hari gagap untuk menjadikan Alquran yang suci, harus dimuliakan, dibaca, dipedomani dan selanjutnya.
Acara selanjutnya adalah khataman beberapa kitab yang dibaca sambil menutup acara ramadhan, memberikan nasehat kepada para santri untuk berbakti kepada kedua orang tua, menunjukkan kepada mereka bahwa para santri pulang dari pesantren membawa ilmu, membawa akhlaqul karimah di hadapan mereka, itulah harapan para orang tua selama memondokan anaknya di pesantren. Mereka ingin melihat bahwa setelah sekian tahun di pesantren anak-anaknya ada perubahan-perubahan yang nyata di hadapannya. Mungkin jarang orang tua yang akan melakukan ujian atau ngetes anaknya tentang kemampuan intelektualnya, tetapi perilaku tiap hari dari seorang santri kita pulang sudah menjadi bukti bagi mereka bahwa anak-anaknya adalah min al-shalihin dan shalihat. Ini sudah membahagiakan. Mereka melihat anaknya rajin berjamaah di rumah, patuh terhadap semua perintahnya, rajin membaca Alquran, selalu memakai bahasa-bahasa yang halus, bisa bergaul dengan semua keluarga dan masyarakat sekitarnya, bahkan mungkin sebagian santri juga dapat menjadi pemimpin-pemimpin di lingkungannya masing-masing. Sebagaimana sebuah dawuh, “Sayyid al-qawmi khadimuhum”, para pemimpin itu adalah pelayan bagi kaumnya. Santri sesudah pulang dapat mengajarkan ilmunya, transformasi ilmu pengetahuan agamanya untuk orang sekitarnya, menjadi masyarakat rajin beribadah, rajin mengaji, menjadi komunitas santri yang patut kepada ajaran Allah, Rasulullah dan nasehat para kyai dan ulama.
Sebelum hari raya kita mengadakan sarasehan yang diikuti oleh keluarga besar Pondok Pesantren Al-Kamal dan bersinergi dengan semua lembaga-lembaga di dalamnya baik lembaga pendidikan, Madrasah Diniyah, Ma’had Aly, lembaga bahasa, madrasah Alquran, lembaga bidang IT, Lembaga yang membidangi ekstra santri, KBIHU, lembaga-lembaga sekolah-sekolah formal, ketakmiran, panti asuhan yang sebagiannya harus perwakilan, dengan peserta sekitar dua ratus lima puluh orang. Semua lembaga semangatnya sama, bahwa semua berkeinginan untuk maju, adanya pembaruan di lembaganya masing-masing, pasca adanya injeksi spiritualitas dari Ramadhan. Yang patut kita bangga adalah semangat kemajuan yang dimiliki oleh semua lembaga, tanpa mempertimbngkan materi, fasilitas atau sisi-sisi hedonisme lainnya. Nampaknya semua semangat untuk mengabdi kepada santri, kepada ilmu, masyarakat secara luas.
Pada saat masuk hari raya setelah ditetapkan oleh pemerintah kepastian tanggal satu Syawal, kita memberikan khutbah hari raya di lapangan Desa Kunir Wonodadi Blitar. Walaupun sebenarnya kita juga ada jadwal untuk khutbah di rumah asli penulis di Bendosari Kras Kediri, nampaknya di Desa Kunir juga harus diopeni supaya ke-istiqamahan shalat hari raya di lapangan tetap terjaga sebagaimana harapan para sesepuh dan kyai yang memulai mengadakannya, dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan. Saat khutbah kita berpesan, kepada jamaah untuk bergembira, mensyukuri nikmat Allah SWT dengan selesainya beribadah selama satu bulan penuh, berbagai paketan ibadahnya telah dengan baik diamalkan, ada yang wajib seperti puasa dan zakat, yang sunnah seperti mengaji, tadarus, ta’jil fitri, bakti sosial, sholat malam, pergaulan yang baik dengan sesama (muasyarah bi al-ma’ruf), memperdalam ilmu agama. Semua adalah paketan-paketan ibadah yang murni dilaksanakan karena Allah SWT, sehingga yang akan membalas adalah Allah sesuai dengan yang didawuhkan jeng Nabi SAW, “man qama ramadhana imanan wa ihtisaban ghufira lahu ma taqadama min dlanbih”, barang siapa yang beribadah di bulan Ramadhan dengan penuh ikhlas dan harapan ridla Allah niscaya Allah akan mengempuni dosa-dosanya, juga dawuh-Nya, “al-shaumu li wa ana ajzi bihi”, puasa itu milik-Ku dan aku yang akan membalasnya.
Dalam perintah Allah berupa puasa selama satu bulan ini, tentunya ada hikmahnya, mengapa kok dijalankan lama sekali, selama satu bulan?, padahal sholat fardlu akan selesai dalam 5 menit, zakat selesai dalam hitungan menit, haji hanya pada saat tanggal 9 Dhulhijah saat wukuf di Arafah dan hari raya Idul Kurban, syahadat 1 menit, semua ibadah yang kita lakukan hanya berlanjut dalam hitungan menit atau hari saja. Tetapi puasa Ramadhan diperintahkan selama 1 bulan penuh tanpa henti dan jeda. Nampaknya Allah SWT mensyariatkan puasa dalam rangka membuat tradisi (sunnah hasanah dalam umat Muhammad SAW). Dengan tiap hari puasa, tiap hari tarawih, shadaqah, seorang hamba akan mendapatkan sunnah hasanah yang begitu banyak yang dapat mengantarkan dia ke derajat Muttaqin. Kata guru saya KH. Manshur Adnan “Kullu syaiin minal biasa”, segala sesuatu tergantung kebiasaannya, kalau kebiasaan seseorang shadaqah, shalat malam, darus Alquran, berpuasa, maka seorang hamba akan menjadi pribadi-pribadi yang taat, rajin beribadah, patuh terhadap perintah Allah yang disebut dengan al-Muttaqin, yang dekat kepada Allah. (bersambung)
*Penulis: Prof. Dr. KH. Asmawi Mahfudz, M.Ag (Pengajar UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Yayasan Bayturrahman Bendoasari, Fungsionaris NU dan Pengasuh PP Al-Kamal Blitar)