Falsafah Ibadah Kurban (Risalah Ngaji dan Ngabdi Edisi 144)

Kurban adalah ajaran  Islam yang memang sudah dijalankan secara turun-temurun oleh agama tauhid, dicontohkan oleh jeng Nabi Ibrahim alaihi salam dan sampai sekarang diteruksan umat jeng Nabi Muhammad SAW. Secara bahasa kurban berasal dari kata qariba, yaqrabu, qurban, qurbanan wa qirbanan yang berarti dekat. Memang secara umum praktik kurban menurut fiqih adalah menyembelih hewan ternak berupa unta, sapi atau kambing (an’am) dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah (Taqarrub ila Allah). Dari sisi pengertian ini ada beberapa hal pokok yaitu subyek kurban adalah orang mukallaf, usaha atau perbuatan menyembelih (berkorban), obyek penyembelihan (hewan ternak) berupa unta, sapi atau kambing dan tujuan kurban adalah secara ikhlas mendekatkan diri kepada Allah. Yang kesemuanya telah diatur oleh fiqih supaya kurban dapat diterima di sisi Allah SWT.
Dari sisi noramatif, Al-Qur’an dan Sunnah telah memberi penjelasan secara gamblang tentang diperintahkannya Umat Muhammad SAW. untuk melakukan kurban. Sebagaimana dalam surat Al-Kautsar ayat 2, yang artinya “Maka, laksanakanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah!”. Ayat ini merupakan perintah Allah kepada kita untuk bersyukur atas limpahan nikmat yang tidak terhingga, dengan cara berkurban melakukan penyembelihan hewan  ternak yang baik dalam rangka beribadah semata-mata kepada Allah dan mendekatkan diri kepadanya. Perintah kurban dalam Al-Qur’an sebagai bukti ketaatan dan totalitas kita sebagai hamba yang bersyukur, sebagai hamba yang hanya beriman kepada Allah. Maka dalam berkurban merupakan ajaran dasar ketauhidan yang di dalamnya terdapat kepatuhan, ketaatan, dan ibadah sebagai hamba yang beriman, yang dalam bahasa maqashid al-syariah (tujuan hukum) ini menempati unsur paling tinggi dalam menjalankan syariat yaitu hifdl al-din, memelihara agama.
Dalil normatif kedua adalah Hadist Nabi SAW sebagai penjelasan kepada Al-Qur’an dan tradisi yang dijalankan oleh jeng Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah RA;

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ نْ يَقَعَ مِنْ الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا

(bahwasanya Rasulullah SAW bersabda tidaklah sorang anak adam pada hari raya kurban berbuat amal yang lebih dicintai di sisi Allah daripada mengalirkan darah, sesungguhnya  kurban ini akan datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, kuku-kukunya, dan sesungguhnya darahnya akan sampai kepada Allah sebelum menetes ke bumi, maka lapangkanlah hatimu  dengan melakukan kurban).
Hadits Nabi ini menjelaskan keutamaan berkurban sebagai sebuah amalan anak Adam yang beriman kepada Allah dengan membuktikannya berupa pengorbanan hewan yang dilakukan pada hari raya, sebagaimana ajaran Nabi Ibrahim AS. Di pahami juga bahwa kurban dilakukan dengan hati yang lapang, ikhlas semata-mata beribadah kepada Allah.
Dari sisi historis kurban dapat dilacak ajarannya telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS, yang mengorbankan putranya Ismail, sebagai wujud ketaatan dia kepada Allah, yang kemudian oleh Allah diganti dengan menyembelih sekor domba. Ajaran kurban dari bapak ajaran tauhid ini, juga harus diikuti oleh Muhammad SAW. untuk membuktikan kebenaran ajaran Allah, sebagai ketersambungan sejarah bahwa ajaran tauhid tidak hanya dilakukan oleh jeng Nabi Muhammad tetapi juga bersambung sejak rasul sebelumnya sesama umat yang beriman kepada Allah, beriman kepada Rasulullah, kepada kitab Allah, dan balasan di hari akhir. Sehingga dalam hadits di atas pun juga dijelaskan balasan orang yang beriman ketika melakukan kurban akan mendapatkan balasan dari Allah di hari akhir.
Dari sisi ekonomi, amaliah kurban yang agung ini juga akan mengandung makna ekonomi. Di mana kurban dengan menyembelih hewan ternak sebagai sumber ekonomi umat manusia pada umumnya, baik di belahan dunia mana pun. Dengan dilaksanakan kurban distribusi ekonominya akan terlaksana, bagi seorang peternak mereka bisa menyalurkan hasil ternaknya dengan mendapatkan nilai ekonomi yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Misalnya kalau di Indonesia yang mayoritas muslim penduduknya, 10 persen saja melakukan kurban ini tinggal dikalikan. Sekarang harga kambing standar kurban minimal 2,5 juta dikalikan 10 % penduduk muslim di Indonesia, sekitar 20.000.000 kambing yang disembelih, belum lagi kalau yang disembelih adalah sapi, kerbau yang harganya 10 kali lipat. Ini adalah potensi ekonomi dari kurban yang begitu besarnya, sehingga terwujud distribusi pemenuhan kebutuhan ekonomi di tengah-tengah masyarakat. Yang peternak mendapatkan uang, yang pekerja mendapatkan upahnya, yang penerima kurban akan mendapatkan dagingnya, yang pedagang mendapatkan keuntungannya. Pada akhirnya ibadah kurban dapat mewujudkan keadilan ekonomi di tengah-tengah masyarakat yang dalam kacamata filsafat hukum Islam disebut dengan hifdl al-mal (memelihara harta). Memang harta adalah kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia, maka para ulama juga menempatkan kepentingan harta juga menjadi tujuan kemaslahatan yang harus diutamakan di samping kemaslahatan hidup yang lain.
Dalam perpektif interaksi sosial masyarakat dalam ibadah kurban mencerminkan hubungan sosial antara masyarakat yang bersifat zoon politicon, manusia satu harus saling berhubugan dengan manusia yang lain dalam pemenuhan kehidupan dan menjaga eksistensinya. Tidak dapat yang mempunyai ternak individualis tidak membutuhkan kepada konsumen, mereka juga membutuhkan pedagang, sebagai agen distribusi hewan ternaknya, juga orang yang bertugas untuk menyembelih, dokter yang mengawasi kesehatan hewan yang dikurbankan, pemilik jasa transportasi yang menyalurkan hewan ternak ke seluruh wilayah pelaksanaan kurban dan sebagainya. Simbiosis mutualisme dalam kegiatan kurban harus disadari oleh setiap pelaku kurban, sehingga ego dia sebagai penikmat kurban segera akan dipotong untuk menjadi hamba-hamba yang selalu butuh kepada Allah dan hamba yang lain sesuai dengan proporsinya masing-masing (hifdl al-nafs). Ajaran tentang kurban tidak hanya dimensi individu tetapi dari individu itu menjadi ibadah kolektif yang dilakukan oleh orang banyak. Ini sesuai dengan kajian fiqihnya yang berpendapat bahwa ibadah kurban hukumnya fardlu kifayah, bagi setiap keluarga. Senyampang dalam sebuah keluarga sudah ada yang melakukan kurban berarti kesunnahan dan pahala akan didapat oleh keluarga itu (Nawawi Al-Dimasqi:IX).
Di samping itu dalam kurban akan terealisasi adanya kesehatan dalam masyarakat, mengingat beberapa kandungan daging yang dikonsumsi bagi masyarakat muslim berpotensi untuk meningkatkan kesehatan badanya. Sehingga ibadah kurban selain ada perbaikan dalam kejiwaan hamba juga akan menyehatkan badannya. Seiring dengan sehatnya jiwa dan badan, daging kurban juga kan mampu membangkitkan keinginan biologis manusia untuk berhubungan dengan pasangannya. Dengan adanya sisi bilogis ini akan terwujud pemeliharaan keturunan bagi seorang muslim (hifdl al-nasl).
Untuk itu ibadah kurban sebagai sebuah ajaran agama memiliki kebenaran yang dapat diterima oleh semua manusia, mengingat nilai filosofis yang mendalam bagian dari totalitas menjalankan ajaran Tauhid, berupa memelihara agama, jiwa, keturunan, harta. Dengan melakasanakan kurban berarti seorang hamba menjalankan sebuah ajaran universal yang nilainya tidak hanya diterima bagi seorang muslim tetapi juga non muslim. Wa Allah A’lam.    
*Penulis : Prof.Dr.KH. Asmawi Mahfudz, M.Ag.
(Pengasuh PP Al Kamal, Pengajar di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung)

Tags :

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *