Fiqih Siber dan Maqashid Syariah Transformatif (Review Pidato Guru Besar dalam edisi Ngaji dan Ngabdi 143)

Fiqih adalah norma-norma hukum Islam yang mengatur perbuatan manusia baik yang berhubungan dengan Allah, dengan sesama dan seluruh makhluknya. Sedangkan perbuatan manusia dalam hidupnya akan mengalami dinamika, sesuai perkembangan yang melingkupinya, mulai zaman sebelum Islam, klasik, pertengahan, modern sampai zaman sekarang ini. Dalam konteks zaman kekinian kehidupan manusia dihadapkan kepada tantangan situasi di mana semua dimensinya menggunakan perangkan internet atau dunia maya. Perangkat ini sekarang sudah digunakan untuk fasilitas ibadah, ekonomi, politik, budaya, hukum, pendidikan atau sekadar untuk mainan saja.
Dalam kontek Hukum Islam digitalisasi dengan fasilitas internet, yang disebut dengan siber, dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar hukum yang terjadi di sekitar masyarakat, untuk mengukur arah kiblat, bisnis online, membuat surat gugatan ke peradilan, atau dapat digunakan sebagai aplikasi yang berperan untuk menganalisa dalil, menentukan hukum layaknya seorang ahli hukum atau mufti.  Untuk itu suasana pemakaian perangkat digital harus disikapi oleh fiqih, supaya pemanfaatan perangkat ini tetap dalam prinsip-prinsip syariah untuk mengantarkan manusia mencapai tujuan kemaslahatan dalam kehidupannya.
 Ini selaras dengan pendapat Muhammad Al-Ghazali, Islam ini diturunkan ke Arab tidak dalam ruang yang kosong, melainkan di sana sudah ada nilai tersendiri yang sudah dipraktikkan oleh masyarakatnya, tidak free value. Dalam setiap masanya hukum Islam dituntut dapat menjawab problematika umatnya, sehingga terwujud sebuah perangkat hukum yang shalihun li kulli zaman wa makan (yang relevan sesuai dengan situasi dan kondisi). Untuk itu fiqih siber sebagai sebuah konsep dan norma harus segera direalisasikan dalam menjawab problem-problem manusia zaman ini yang berhubungan dengan pemakaian internet. Satu produk dunia maya-internet adalah kecerdasan buatan atau Artificial Intelegence (AI), dalam musyawarah Nahdlatul Ulama 2022, sudah difatwakan bahwa menggunakan fasilitas Artificial Intelegence dalam menjawab problematika hukum Islam diperbolehkan, tetapi mengamalkannya tidak diperbolehkan.
Memang AI sebagai sebuah karya ilmu  bisa digunakan, tetapi dia hanyalah sebuah perangkat yang membantu aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Sebagai sebuah perangkat dia bukanlah seorang mukallaf yang bisa dikenai beban taklif, tidak mempunyai kesadaran sebagaimana layaknya manusia. Maka kekurangan-kekurangan inilah yang patut dipertimbangkan dalam pemanfatan AI dalam menghasilkan hukum Islam. Mengingat hukum Islam merupakan hasil pemahaman nas, yang dihasilkan melalui proses yang tidak hanya mempertimbangkan aspek intelektualitas nalar saja, tetapi juga didampingi dengan kesadaran para ahli hukum. Maka kekurangan dari AI adalah kesadaran (conciousnes) yang dapat digunakan untuk membaca latar sosial dari suatu masalah hukum.
Salah satu upaya untuk mewujudkan prinsip-prinsip fiqih siber adalah dengan menggunakan pendekatan maslahah.  Maslahah pada masa awal Islam pernah dilaksanakan oleh Rasulullah dan para sahabat, ketika mereka melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah. Saat itu kaum Anshar mengorbankan dirinya demi kebaikan sahabat-sahabat Muhajirin, dalam bahasa Al-Qur’an, “wayu’tshiruna ‘ala anfusihim walau kana bihim khashashah” yang kemudian kita sebut dengan al-itsar, mendahulukan kepentingan orang lain, walaupun berat bagi diri sendiri. Hal ini kemudian didukung oleh dawuh Rasul SAW, “la dlarara wa la dlirar”, tidak boleh berbuat bahaya untuk diri sendiri dan berbuat bahaya untuk orang lain. Dari sini kemudian disederhanakan menjadi sebuah kaidah, “dar’u al-mafasid muqadamun ‘ala jalb mashalih”, menolak bahaya didahulukan dibanding dengan menarik kebaikan. Dalam buku-buku bahasa Inggris maslahah banyak diterjemahkan dengan interest public (kepentingan umum).
            Pada masa Tabiin, maslahah dikenalkan oleh Imam Malik dengan sebutan maslahah mursalah, yakni kebaikan yang tidak disebutkan dalam nash. Karena memang kebaikan (maslahah) ada yang disebut nash, al-manshus alayha, seperti shalat untuk mencegah perbuatan keji dan mungkar. Dilarang minum khamar karena itu najis, diterapkannya hukuman qishas untuk menjaga kehidupan manusia, dilarang mengikuti syetan karena akan menjatuhkan manusia kepada permusuhan dan perselisihan, dilarang perbuatan zina karena perbuatan keji dan jalan kehidupan yang paling hina. Juga maslahah yang tidak disebut dalam nash, gharu manshuh alayha, seperti pencatatan perkawinan dan  perceraian, harus ada kwitansi dalam perjanjian kontrak jual beli, hutang piutang dan sebagainya. Dalam hal ini Imam Malik menyebutnya dengan maslahah mursalah kebaikan yang tidak ada dalam nash.
 Pada masa Imam Juaweini maslahah disederhanakan menjadi lima hal pokok, “kulliyat al-khams” (menjaga agama, jiwa, keturunan, harta dan akal), kemudian oleh Al-Ghazali diteruskan dengan jalb al-nafi wa daf’u al-dlarar. Pada abad 13 ada Izudin Abd. Salam menulis, “qawaid al-ahkam fi mashalih al anam”, Al-Syathibi mengkonsepsikan maslahah dengan maqashid al-syariah dalam karyanya “Al-Muwafaqat”, kemudian diteruskan lagi oleh Ibn Atsur, Jasir Audah. Al-Raysuni, Al-Mahali, Al-Subki dengan menambahkan kepada menjaga kehormatan, hifdl al-irdli. Masa kekinian maslahah ditambah lagi dengan hifdl al-athfal wa al-nisa’, menjaga hak-hak anak dan perempuan, hifdl al-usrah (menjaga keluarga),  ada hifdl al-bi’ah (menjaga lingkungan). Dalam hal digitalisasi menurut maqashid al-syariah, ada beberapa hal penting yang patut untuk diperhatikan yaitu;
Pertama, dalam fiqih semua aktifitas selalu diniatkan untuk kemaslahatan agama, terutama berhubungan dengan ibadah kepada Allah SWT. Maka penggunaan fasilitas digital dilakukan dalam rangka mewujudkan kebaikan, kemaslahatan yang dikehendaki  Allah yang membuat syariah, hifdl al-din, menjaga kepentingan agama, tentunya berimplikasi kepada sikap bertanggung jawab bagi orang yang beriman bahwa yang dilakukannya akan dipertanggung jawabkan dunia dan akhirat.  Dengan prinsip menjaga agama akan didapatkan kesadaran bahwa kemampuan akal manusia terbatas, ada kehendak Tuhan yang menjadi sandarannya dalam mempergunakan fasilitas siber.
Kedua, prinsip selanjutnya yang harus diperlihara adalah menguatkan eksistensi manusia sebagai “khalifah fi al-ardl” menjadi khalifah di muka bumi. Hal ini dapat dimaknai sebagai realisasi dari hifdl al-nafs. Memelihara eksistensi manusia sebagai khalifah di muka bumi sudah ditetapkan Allah sejak diciptakannya. Dengan prinsip ini peran utama dalam penggunaan siber terletak kepada manusianya, perangkat internet dan aplikasi yang lain hanya sebagai alat, wasail dalam merealisasikan apa yang dikehendaki (maqashid). Jangan sampai fasilitas siber menggeser posisi manusia dalam mewujudkan kemaslahatan. Misalnya dalam penggunaan jaringan terjadi kelalaian yang diakibatkan oleh sebuah aplikasi atau penggunanya, maka sanksi hukum bisa saja diterapkan kepada pencipta atau penyedia aplikasi itu dan penggunanya.
Ketiga, prinsip maqashid syariah yang berhubungan dengan hak intelektual tentunya juga dilindungi sebagai bagian dari mewujudkan kemaslahatan akal (hifdl al-aql). Harus diakui bersama bahwa AI sebagai bagian dari jaringan digital, meruapakan karya manusia yang harus diapresiasi dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia.
Keempat, fasilitas siber sebagai sebuah perangkat ekonomi juga dapat dilihat dalam perspektif ekonomi, maka senyampang dapat memelihara kebaikan harta (hifdl al-mal) yang berdasarkan keadilan tentunya fasilitas internet juga diperbolehkan dalam rangka mengembangkan potensi manusia, suapaya tercapai kesejahteraan dan kemakmurannya.
Kelima, juga dalam penggunaan siber jangan sampai digunakan untuk menghina orang lain, merendahkan kehormatan yang bertentangan dengan prinsip kemaslahatan untuk menjaga harkat dan martabat manusia, hifdl al-irdl. Apalagi didunia kekinian seseorang dengan perangkat digitalnya mudah untuk menulis sesuatu dalam perangkatnya tanpa mempertimbangkan bahwa itu akan menyentuh kehormatan orang lain, menyakitinya. Maka prinsip memelihara kehormatan dalm fiqih siber juga harus menjadi pedoman supaya kemaslahatan yang didapat bagi pemakai tidak akan merugikan kepada orang lain.
Keenam, fiqih siber dalam kacamata maqashid syariah juga harus mengembangkan prinsip menjaga informasi atau data. Dalam hal penggunaan data dan informasi (hifdl al-ma’lumat) penting menjadi pedoman, karena semua yang berhubungan dengan fasilitas jaringan akan selalu berbasis data. Maka perlindungan dan penjagaan data adalah hal yang utama, sehingga maqashid pun juga harus  berkembang untuk mewuudkan kemaslahatan data.
Ketujuh, kebaikan atau kemaslahatan yang direalisasikan tidak hanya bertumpu kepada manusia saja tetapi juga harus melindungi kebaikan alam semesta, maslahah kauniyah.
Terakhir, fiqih siber bertujuan untuk mewujudkan al-‘adalah al-raqamiyah, keadilan dalam penggunaan digital. Artinya pemakaian perangkat digital diatur dengan norma-norma yang dapat menjamin nilai-nilai keadilan di antara hamba Allah, baik sebagai produsen atau konsumen, adil antara subyek atau obyek diterapkanya fiqih siber.
Akhirnya dengan prinsip-prinsip fiqih siber di atas menjadi jelas dinamika masyarakat dengan kompleksitas problematikanya diimbangi dengan perkembangan maqashid syariah bersifat transformatif, dinamis, berkembang. Sebagai sebuah pendekatan untuk menjawab status hukum dari pemanfaatan perangkat digital yang sudah terintegrasikan  dalam era kekinian dengan beberapa prinsip penting yang dijelaskan di atas. Maqashid syariah tranformatif tidak hanya berhenti kepada lima hal saja yaitu memelihara agama, jiwa, akal, harta keturunan, tetapi  dikembangkan dengan menambah hifdl ‘irdli (memelihara kehormatan), hifdl usrah (keluarga), hifdl al-bi’ah (memelihara lingkungan) dan hifdl al-ma’lumat (memelihara data dan informasi). Wa Allahu A’lam!
*Penulis : Prof.Dr.KH. Asmawi Mahfudz, M.Ag (Pengasuh PP Al Kamal, Pengajar Filsafat Hukum Islam di Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung)

Tags :

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *