Oleh : Muh. Imam Sanusi Al- Khanafi*
Islam adalah Agama yang paling sempurna, tidak membeda- bedakan mana yang paling unggul dalam hal kualitas keagamaannya. Selain itu, Islam merupakan penyempurna dari Agama- agama sebelumnya, yang mana Islam datang kebumi bukan untuk kekerasan. Akan tetapi untuk perdamaian, keharmonisan, kemanusiaan, keilmuan, peradaban dan kebudayaan. Dengan tujuan mengarahkan seluruh umat Manusia menuju Rahmatal lil alamin.
Allah SWT memiliki sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Rahman (pemberi kasih sayang kepada semua mahluk) dan Rahim ( pemberi rahmat / kasih sayang keapada makhluk yang beriman kepadanya).[1] Dalam hal ini Manusia diturunkan di bumi dalam rangka untuk menjadikan bumi yang rahmatal lil alamin. Dalam arti memberikan rahmat dan kasih sayang kepada manusia untuk mengarahkan kepada sang penguasa jagat raya ( Allah SWT).
Salah satu ajarannya yang mengandung nilai- nilai adalah keadilan kepada sesama Manusia. Tidak sedikit didalam ayat- ayat al-Qur’an yang memaparkan bahwa umat Manusia baik laki- laki maupun perempuan yang selalu bertawakal dan beriman kepada Allah, maka akan memperoleh kehidupan yang kekal yakni Surga.
Laki- laki diciptakan oleh Allah untuk mencari pasangannya. Begitu perempuan dicaptakan untuk mendampingi laki- laki. Allah memberikan pasangan hidup yang terbaik sesuai dengan potensinya saat mengemban tugasnya masing- masing selama didunia.
Dimata Allah baik kaki- laki maupun perempuan adalah sama. Sesuai dengan firman Allah, yang berbunyi :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai seluruh manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu (terdiri dari laki- laki dan perempuan . Dan kami jadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku- suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling taqwa. (Qs. Al-Hujurat : 13)
Menurut Quraish Syihab, ayat ini menjelaskan kejadian tentang Manusia, baik kemuliaan perempuan, maupun kemuliaan laki- laki. Allah mengukur kemuliaan setiap makhluknya bukan berdasarkan derajat, keturunan. Akan tetapi berdasarkan keimanan dan ketaqwaan umatnya.
Jadi ketika ada yang berpendapat, seorang laki- laki lebih mulia dari pada perempuan, ini menyalahi ayat diatas. Karena jika dilihat dari ukuran, derajat Manusia berdasarkan tingkat ketaqwaannya kepada Raja sang pencipta Alam.
Masalah kedudukan Manusia dalam pandangan Islam, Allah menciptakan Laki- laki dan perempuan tidak untuk dibeda- bedakan. Dengan dalih alasan bahwa, laki- laki dan perempuan diciptakan untuk saling melengkapi satu sama lain. Jadi ketika dalam konteks hubungan rumah tangga, dalam kehidupan sosial pasti membutuhkan satu sama lain. Karena Allah SWT memberikan potensi kepada umatnya berdasarkan tugasnya masing- masing ketika didunia. Allah berfirman :
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ
“Mereka pakaian buat kamu, dan kamu pakaian buat mereka” (Qs. Al-Baqarah : 187)
Apabila Laki- laki tidak butuh perempuan, ataupun sebaliknya. Ini menyalahi ketentuan yang telah digariskan didalam ayat al-Qur’an. Didalam Surah at –Taubah, juga di jelaskan dalam firmannya :
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْض
“Orang- orang beriman lelaki dan orang- orang yang beriman perempuan sebagaian mereka pendukung- pendukung sebagaian yang lain”(Qs. At-Taubah : 71)
Jadi kedudukan perempuan tidak bisa dilecehkan, mengingat tanpa perempuan berarti telah mengabaikan setengah potensi dari masyarakat. Apabila dilecehkan sama saja melecehkan seluruh umat manusia. Karena Manusia berasal dari Adam dan Hawa. Tanpa perempuan, maka tidak melahirkan jenis makhluk ketiga. Laki- laki dan perempuan diturunkan didunia untuk menjadikan dunia yang harmonis, bukan untuk saling merendahkan satu sama lain dan tidak memanusiakan sesama. Walaupun ada batas- batas tertentu untuk menjadikan peran kedua makhluk tersebut berbeda sesuai dengan peran bekal yang diberikan oleh Allah kepada hambanya masing- masing.
Hasil pemikiran sesorang memang berbeda- beda. Kadang kala ada yang bersifat radikal (ekstrim) ada juga yang bersifat moderat ( mengambil jalan tengah). Seperti dalam kerangka didalam ilmu Jarh wa Ta’dil, ada ulama kritikus yang bersifat mutasyadid (ketat), mutasyahil (longgar), dan mutasyadid (tengah- tengah)[2].
Sebagaian berpandangan negatif terhadap perempuan kebanyakan dari faktor budaya non- Muslim. Dalam perjanjian lama[3] pernah ada yang menduga bahwa akibat Manusia diturunkan dibumi dikeranakan hawa, dikarenakan akibat tidak bisa menahan nafsu dari godaan syetan untuk memakan buah Haram. Akibat hal ini, seakan- akan perempuan yang menjadikan laki- laki ikut terjerumus dari lembah kesalahan. Padahal dalam pandangan al-Qur’an tidak seperti itu, Allah sudah mengatur dan menentukan keduanya untuk menjadi khalifah dibumi.
Maka dari itu, pemikiran seseorang memang sangat dipengaruhi oleh budaya dan perkembangan iptek pada masanya. Kadang hingga pada era kekinian juga ada yang terpaku dengan pendapatnya yang bersikap tidak adil terhadap perempuan. Dikarenakan faktor keadaan dan pandangan era dahulu. Dalam hal ini mengingatkan kita, jika pemikir terdahulu tinggal di era sekarang, mungkin pendapatnya berbeda dengan kondisi yang terjadi pada saat ini.
Seperti Imam syafi’i yang tekenal dengan dua pendapatnya dikarenakan oleh faktor budaya yang berbeda yakni qoul qadim dan qoul jadid. Yang mana qoul qodim (pendapat lama) yang ketika beliau masih tinggal di Irak dan qoul jadid ( pendapat baru ) yang ketika itu beliau berada di Mesir.
Maka dari itu, jika kita menilai makna kesetaraan antara laki- laki dan perempuan. Kita harus merujuk kepada sumber ajaran Islam. Jadi tidak hanya mengambil sebagian dari ayat yang membahas tentang perempuan. Akan tetapi dengan cara mengumpulkan ayat- ayat tentang perempuan. Setelah itu kita telaah makna yang lebih dominan tentang hakikat seorang perempuan. Dengan ini kita akan mendapatkan hikmah dibalik keadilan yang diberikan Allah kepada umatnya. Yakni memperoleh manfaat dan pelajaran yang begitu berharga dan bersifat profesional dalam menilai perempuan. Tidak langsung menghakimi tanpa adanya dasar. Begitu juga kita akan lebih mengerti dan berwawasan yang luas tentang Islam yang damai, sejahtera, tidak membeda- bedakan satu sama lain. Dan tentunya kita menjadikan diri kita semakin lebih dewasa dengan wawasan Islam.
Seperti dalam Filasafat Jawa, Janma Tan Kena Kinira (manusia itu tidak terduga), keberadaan manusia tidak bisa dinilai hanya dari penampilan luarnya. Banyak Manusia yang dari luar tampak baik, polos nyatanya berhati buruk. Begitu juga ada Manusia yang penampilannya biasa saja, bahkan terlihat bukan orang terhormat. Ternyata berhati mulia. Oleh karena itu para leluhur Jawa selalu mengingatkan kita untuk selalu bersikap bijaksana, proporsional dan tidak menilai seseorang dari luarnya saja. Wa Allahu a’lamu bi ash-showab.
Sekian, semoga bermanfaat !!!
*Adalah mahasiswa semester VIII jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri Tulungagung dan sebagai salah satu mahasantri Ma’had Ali Ashaabul Ma’arif Al-Kamal Blitar.
[1] Menurut Quraish Syihab, bahwa kata rahman itu menunjukkan duniawi. Sedangkan kata Rahim itu menunjukkan ukhrawi. Maksudnya adalah sifat rahman Allah diberikan untuk semua Makhluk didunia, baik mukmin atau kafir, tumbuhan dan seluruh alam jagat raya. Sehingga kata tersebut tidak kekal, karena cakupannya hanya didunia. Adapun sifat Rahim Allah diberikan kepada orang- orang yang beriman, bertawakal kepadanya, sehingga sifatnya kekal yakni di Istana Surga.
[2] Dalam kerangka ilmu jarh wa ta’dil, ulama kritikus Hadis yang proporsional dalam menentukan kecacatan dan keadilan seorang perowi adalah mutawasit. Seperti Imam Bukhari, Ahmad Ibn Hanbal
[3] Perjanjian Lama adalah bagian pertama dari al-Kitab Kristen, yang utamanya berdasarkan al-Kitab Ibrani, yang berisikan keagamaan karya bangsa Israel kuno.