Ekonomi Syari’ah Sebagai Solusi

Oleh: Asmawi
Pengajar Hukum Islam IAIN Tulungagung
Sejak abad 17 M, seolah percaturan dunia global, mengalami pergeseran yang begitu mendasar, mulai dari kehidupan politik, sistem ekonomi, praktek keagamaan umat Islam, dan solidaritas sosial antar umat manusia. Ini ditandai dengan moment revolusi industri di Perancis, yang kemudian menandai awal proses modernisasi dunia global. Sebelumnya manusia yang hidup pada abad sebelumnya perilaku politiknya dijalani dengan sistem yang sederhana, tidak melibatkan partisipasi masyarakat banyak, semua di denominasi oleh golongan, trah atau kelompok tertentu saja. Juga pola pemenuhan kebutuhan ekonomi mereka dijalani dengan simple, karena memang tuntutan kebutuhan masyarakat belum beragam. Seiring dengan pola politik dan ekonomi, kehidupan keagamaan umat manusia, diamalkan dengan penuh keyakinan, tanpa atau bahkan minim dari rasionalitas personal –individul dari penganut Agama. Inilah yang kemudian disebut dengan masyarakat tradisional. Artinya kehidupan berjalan dengan banyak berpedoman kepada sisi tradisionalitas manusia. Dalam kajian ilmu sosial kita, fase ini filosofi hidup masyarakat secara mayoritas adalah sosialis-humanism.
Nampaknya dinamika masyarakat lebih cepat dibanding dengan tradisi-tradisi yang berkembang dikomunitas mereka. Masyarakat lambat laun meninggalkan sisi-sisi tradisi yang selama ini berkembang dan hidup dipedomani oleh nenek moyang mereka. Misalnya tradisi gotong royong, silat al-rahmi, tradisi pengabdian (perjuangan untuk kepentingan umat), tradisi belajar kelompok dalam bidang pendidikan, mengaji di langgar/musholla kampung-kampung daerah kita. Tradisi-tradisi mulia itu sedikit demi-sedikit tereduksi (terpotong) oleh effect dinamika masyarakat, yang dinamakan dengan zaman modern.
Modernisasi adalah sebuah zaman di mana semua bidang kehidupan kita selalu diukur dengan rasionalitas (logika) dan materialistis. Artinya suatu perbuatan atau kejadian yang tidak bisa diterima oleh akal manusia dan material interest (kepentingan materi), maka tidak dapat dikatakan modern. Filosafi hidup materialistis dan rasionalis ini berjalan mulai abad 17 M sampai dengan abad 20 M, di mana masyarakat kita yang semula tradisional dengan memegang teguh tradisinya, lambat laun meninggalkannya, dikarenakan apa yang selama ini dilakukan ternyata tidak menghasilkan materi, tidak ketemu akal, atau bahkan tidak menguntungkan dari perspektif dia. Perubahan paradigma (shifting paradigm,meminjam istilah Thomas Kuhn) ini pada era 20-an telah merambah seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat kita, baik kehidupan yang berkaitan dengan interaksi sosial antar masyarakat, perilaku ekonomi, amal ibadah, pengabdian kepada lembaga pendidikan, perilaku politik para tokoh-tokoh bangsa dan lain sebagainya.
Hal itu terbukti dengan semakin kerdil-nya madrasah-madrasah diniyah (TPQ) dikampung-kampung di daerah kita, semakin hari semakin sepi peminat dari para pengajar yang rela/ikhlas mengabdikan dirinya untuk mengajar di lembaga-lembaga madrasah di desa. Ini di karenakan ditinjau dari sisi ekonomi merasa rugi. Dia para ustadhah yang mengajar 3-4 jam tiap hari hanya diberi uang saku secukupnya, yang menurut ukuran masyarakat modern rugi. Karena dia yang sudah meluangkan waktu beberap jam mungkin hanya di beri uang saku duapuluh lima ribu sampai lima puluh ribu. Sikap semacam ini adalah akibat perilaku masyarakat modern yang rasionalis dan kapitalis. Mereka-mereka yang mendewa-dewakan ekonomi juga melakukan kegiatan ekonomi yang semaksimal mungkin, mengumpulkan kapital ekonomi (harta) sebanyak-banyaknya. Semakin banyak dan melimpah kapital ekonominya semakin kuat status sosialnya. Kekuatan dan kekuasaan seseorang diukur dengan seberapa besar dia mempunyai kemampuan kapital ekonomi yang besar pula. Kita dapat melihat di sekitar kita banyak para pelaku ekonomi kita melakukan transaksi ekonomi melalui pribadi, lembaga keuangan, dengan memanfaatkan kelemahan ekonomi orang lain. Mereka yang lemah secara ekonomi seolah tidak mempunyai daya/kemampuan atau bahkan tidak berharga dihadapan orang-orang yang mempunyai kapital besar.
Praktek masyarakat modern semacam itu mempunyai dampak negatif di tengah-tengah masyarakat, akibat kesenjangan ekonomi yang terjadi di antara masyarakat, di satu sisi komunitas miskin dan di sisi lain berhadap-hadapan face to face kepada orang–orang kaya. Akhirnya patologi sosial (penyakit masyarakat) merebak di mana-mana di komunitas masyarakat modern. Mulai dari pencurian, perampokan, korupsi, kolusi, nepotisme, perzinahan (lokalisasi), praktek penculikan dan perdagangan anak, perdagangan perempuan, narkotika dan obat terlarang, minuman keras, perjudian dan sebagainya. Praktek-praktek semacam ini di masyarakat modern sudah tidak dapat di bedakan lagi antara komunitas pedesaan dengan masyarakat perkotaan. Semua kemaksiatan sudah merajalela di mana-mana. Di lihat dari perspektif sosial, fenomena yang ada di masyarakat modern tersebut diakibatkan oleh filosofi hidup kapitalisme dan materialisme dalam praktek ekonomi masyarakat, yang berefect kepada adanya eksploitasi kepada masyarakat yang lain.
Nampaknya pola hidup masyarakat modern bertahan sampai abad 21 M sekarang, dengan berubahnya pola hidup masyarakat kita. Pada abad sekarang ini kebahagiaan seseorang sudah tidak lagi di ukur dengan materi atau kapital saja. Mereka yang hidup di dunia mellinium sekarang sudah mempertimbangkan perspektif lain di luar materi dan rasionalitas. Sebagian dari umat Islam sudah marak kegiatan-kegiatan keagamaan sebagai sarana merengkuh dan mendapatkan kebahagiaan hidup, lari dari kebisingan mengejar materi yang tidak ada ujung pangkalnya. Semakin dikejar seolah manusia semakin syahwat dan akhirnya semakin diperbudak oleh nafsu duniawi. Sehingga maraklah acara majlis ta’lim, kajian-kajian Islam dari sudut pandang sufisme, pengajian-pengajian, kelompok shalawatan, istighasah dan lain-lain. Ini semua dapat mengindikasikan bahwa ternyata rasionalitas dan materi tidak menjamin pemenuhan kebahagiaan hati seseorang.
Di bidang ekonomi, juga terjadi perkembangan (developtment) dan perubahan (change). Praktek ekonomi modern yang lebih menitikberatkan kapital (modal) dan profeet(keuntungan), sedikit-demi sedikit di review untuk diganti dengan praktek ekonomi syari’ah. Lembaga keuangan yang bervisi syari’ah sekarang juga sudah menjamur, untuk merevisi praktek lembaga keuangan konvensional. Akhirnya sekarang semua perbankan kita semua membuka produk atau divisi syari’ah. Mulai dari produk bagi hasil (mudharabah), gadai syari’ah, Asuransi syari’ah, dana talangan haji, deposito syari’ah, pinjaman syari’ah dan lain-lain.
Atribut syari’ah yang ada di setiap lembaga keuangan akhir-akhir ini, tidak semata-mata karena kepentingan pasar. Tetapi secara teologis, ajaran Islam memang juga mengajarkannya. Ini dapat di pahami dari firman Allah Swt, “ orang-orang yang memakan (megambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syetan, lantaran tekanan penyakit gila. Yang demikian itu lantaran mereka berkata: jual beli itu sama seperti riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengaharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya, larangan dari Tuhannya Swt, lalu berhenti (untuk mengambil riba), maka baginya apa yang diambilnya terdahulu, dan urusannya terserah kepada Allah. Orang yang mengulangi mengambil riba, maka mereka adalah orang-orang penghuni neraka, dan kekal di dalamnya”. (al-Baqarah:275).
Kontektualisasinya di dunia kekinian, praktek ekonomi syari’ah diwujudkan dalam rangka meminimalisir praktek riba(ekploitasi orang lain) dalam sebuah sisitem ekonomi di masyarakat. Kalau praktek ekonomi pada masyarakat tradisional banyak mengikuti aliran sosialis, dalam masyarakat modern mempunyai filosofi kapitalis yang berujung riba atau eksploitasi orang lain, maka dalam sistem ekonomi syari’ah menginginkan terwujudnya praktek ekonomi yang berbasis ilahiyah (tauhid), keadilan, nubuwwah (kenabian), hasil (ma’ad). Atau juga dipahami firman Allah di atas menghendaki praktek ekonomi yang dapat mendistribusikan kebutuhan ekonomi masyarakat, sesuai dengan nilai-nilai teologis Islam dan Nilai keadilan antar manusia. Dalam bahasa Amin Abdullah sebuah ajaran dapat diamalkan dengan memenuhi aspek normativitas Tuhan Swt. dan aspek kesejarahan (historisitas) manusia.
Dari sistem ekonomi syari’ah inilah, nantinya patologi sosial (penyakit) yang terjadi di masyarakat dapat menemukan solusinya, karena sistem ini diramu untuk kebaikan umat manusia itu. Seperti yang diungkap oleh Yusuf Qardhawi, Sebenarnya apa yang ada di dunia ini adalah milik Allah Swt. Namun, dalam Islam juga mengakui adanya hak milik pribadi dan menjadikannya dasar bangunan ekonomi. Itu akan terwujud, apabila ia berjalan pada porosnya dan tidak keluar dari batasan Allah Swt., di antaranya adalah cara memperoleh harta itu dengan jalan halal, yang disyariatkan, dan mengembangkannya dengan jalan halal pula (Yusuf Qardhowi, 1997:
86).
Untuk menindak lanjuti praktek ekonomi syari’ah di Indonesia, sudah dimulai sejak berdirinya bank Mu’amalat di Indonesia pada era orde baru, tepatnya tahun 1991, terus disusul BNI Syari’ah, Mandiri Syari’ah, BRI Syari’ah, dan sekarang semua lembaga keuangan kita, baik perbankan maupun koperasi, sudah mempunyai produk-produk tentang transaksi ekonomi syari’ah. Kemudian kebijakan pemerintah tersebut direspon positif oleh fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) No 1 tahun 2004 tentang bunga dan riba. Menurut Majlis Ulama Indonesia, solusi satu-satunya untuk menghindari praktek riba (eksploitasi orang lain) dalam kegiatan ekonomi adalah dengan menggunakan jasa lembaga keuangan syari’ah yang telah banyak berdiri di pelosok tanah air kita.
Sekarang tinggal menunggu respon positif dari umat Islam Indonesia, untuk bersama-sama mewujudkan ekonomi syari’ah dalam semua transaksi ekonomi. Harapannya masyarakat Muslim di Indonesia dapat mendapatkan kemudahan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, tanpa harus melanggar etika atau norma-norma syari’ah Allah Swt. Dengan begitu, Keadilan ekonomi masyarakat lebih terjamin, dan praktek ekonomi sekuler yang berbasis kapitalis dan sosialis dapat dikikis di tengah-tengah kita. Pada akhirnya kemakmuran umat Islam akan semakin mendekati kenyataan dalam naungan ridlo dan hidayah Allah. Inilah yang Tercantum dalam al-Qur’an”Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur”(sebuah negara yang makmur dalam naungan pengampunan Tuhannya). Wa Allahu A’lam bi al-Shawab!

Tags : 

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *