Oleh: Mirza Sauqi Futaqi, S.Hum*
Akhir-akhir ini muncul banyak penolakan terhadap kegiatan yang diselenggarakan oleh Hisbut Tahrir Indonesia (HTI). Penolakan tersebut terjadi di jawa maupun di luar jawa. Penolakan tersebut, menurut beberapa keterangan, disebabkan karena HTI tidak sejalan dengan Pancasila sebagai dasar negara; dia hendak mendirikan negara Islam atau sistem yang berlandaskan Islam.
Seperti yang diketahui, HTI bertujuan mewujudkan kehidupan masyarakat Indonesia yang berlandaskan pada al Quran dan sunnah. HTI sebagai organisasi politik, hendak merealisasikan tujuan mereka dengan berkiprah di bidang politik. Tak tanggung-tanggung, dia hendak merubah dasar negara yang telah dirumuskan oleh para bapak bangsa (Founding Fathers), Pancasila, dengan al Quran dan sunnah. Menurut pandangan HTI, dengan terwujudnya negara Islam, Indonesia akan berubah menjadi lebih baik, persoalan ekonomi, sosial, moral, pendidikan atau persoalan lainnya akan teratasi dengan baik.
Tujuan HTI yang hendak mewujudkan kehidupan masyarakat Indonesia dengan berlandaskan pada al Quran dan sunnah, lebih konkritnya adalah negara Islam atau sistem pemerintahan Islam (Khilafah Islamiyah), tampak indah tetapi penuh dengan persoalan. Negara Islam atau Pemerintahan Islam bukanlah sesuatu yang baru dalam khazanah keislaman. Dia sudah ada semenjak periode Islam awal hingga runtuhnya sistem pemerintahan Islam yang terakhir yaitu Khilafah Turki Ustmaniyah. Namun, perlu diketahui dan menjadi perenungan adalah dalam perjalanannya, sistem khilafah sudah menunjukan persoalannya bahkan semenjak periode Islam awal, periode para sahabat. Persoalan itu meliputi persoalan siapa yang berhak menjadi pemimpin (khalifah), bagaimana cara memilihnya, apa kriterianya, bagaimana penerapan al Quran dan sunnah dalam memilih pemimpin pemerintahan, bagaimana cara penerapan pemerintahan bahkan hingga seluk beluk detail kehidupan masyarakat dengan kenyataan yang tak bisa dipungkiri bahwa al Quran dan sunnah memuat banyak pluralitas pemahaman. Detail-detail bentuk persoalan dalam sistem khilafah Islamiyah periode awal seperti penolakan Saad bin Ubadah terhadap kepemimpinan Abu Bakar, perselisihan Ali dengan Muawiyah, terbunuhnya Ustman bin Affan hingga persoalan Khilafah Usmaniyah tak perlu disampaikan dalam tulisan ini karena pembaca dapat mengetahuinya melalui buku-buku sejarah.
Belajar Dari Masa Lalu
Persoalan yang hendak ditekankan adalah persoalan khilafah yang hendak diterapkan di Indonesia. Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai suku bangsa, budaya, agama, ras, dan bahasa. Tentu penerapan Islam sebagai dasar negara akan memicu dan melahirkan berbagai persoalan. Hal ini bukanlah isapan jempol semata. Hal ini terbukti dari hasil akhir perumusan Pancasila sebagai dasar negara yang awalnya memuat hal-hal yang syarat dengan syariat Islam menjadi Pancasila seperti yang kita ketahui saat ini. Pemilihan konsep Pancasila seperti yang diterima saat ini tentu melalui banyak diskusi panjang dan tentu melalui banyak pertimbangan yang telah dilakukan para Founding Fathers melihat dari mayoritas para perumus dasar negara beragama Islam seperti Ir. Soekarno (ketua), Drs. Mohammad Hatta (wakil ketua), Mr. Achmad Soebardjo (anggota), Mr. Mohammad Yamin (anggota), KH. Wahid Hasjim (anggota), Abdoel Kahar Moezakir (anggota), Abikoesno Tjokrosoejoso (anggota), dan H. Agus Salim (anggota). Dalam panitia sembilan hanya Mr. Alexander Andries Maramis (anggota) yang beragama kristen.
Kemudian, tak hanya penolakan dari dari eksternal umat Islam , penerapan al Quran dan sunnah sebagai dasar Pemerintahan Negara Indonesia tentu akan melahirkan berbagai persoalan baru seperti persoalan pemahaman terhadap al Quran dan sunnah di dalam internal umat Islam. Ketika al Quran dan sunnah digunakan sebagai aturan baku dalam negara tentu hal ini akan melahirkan kebakuan penafsiran terhadap al Quran dan sunnah. Padahal kenyataannya, di dalam khazanah Islam, baik akidah, fiqh, atau bidang lainnya tak pernah terlepas dari perbedaan pendapat seperti As’ariyah, Mathuridiyah, Syiah, Mu’tazilah, Khawarij, Jabariyah, dan Qadariyah dalam bidang akidah, Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Dzahiriyah dalam bidang fiqh. Ini masih dalam beberapa bidang dan belum disebutkan semuanya. Terlepas mana yang paling benar tetapi perbedaan itu nyata dan ada.
Dalam praktiknya, pembakuan penafsiran agama sering mengakibatkan tindak kekerasan dari para penguasa atau pemerintah. Dalam sejarah Islam, terdapat Khilafah Umawiyah di Andalusia yang menggunakan madzhab maliki sebagai madzhab resmi sehingga orang orang yang berbeda atau keluar dari madzhab resmi akan menerima perlakuan yang tak semestinya dari pemerintah. Ibnu khaldun mengutip ungkapan Yahya bin Yahya al Laitsi, salah seorang imam besar dalam madzhab maliki, “Barangsiapa keluar dari madzhab Imam Malik maka dia hanya akan menyakiti dirinya sendiri.” Dalam khilafah Abasiyah, mereka yang berpendapat bahwa al Quran bersifat qadim dan bukan makhluk, seperti pendapat Mu’tazilah sebagai pemahaman resmi negara, maka mereka akan disiksa, karena keyakinan seperti itu dianggap syirik dan menyimpang sehingga harus diberi petunjuk, bila perlu dengan paksaan dan kekerasan.
Pancasila sebagai dasar negara dan demokrasi sebagai sistem memang bukan tanpa celah. Namun, keduanya bagi bangsa Indonesia masih yang terbaik baik karena Pancasila lahir dari bumi Indonesia dan sudah berakar dalam sifat dan tingkah laku manusia Indonesia sejak zaman dahulu dan demokrasi sebagai sistem negara mampu memberi hak-hak manusia Indonesia dalam kebebasan berpendapat, berfikir, memilih agama, memilih pemimpin dsb. Patut kita renungi kembali usulan Profesor Supomo agar Indonesia tidak menjadi negara Islam, tetapi menjadi negara yang memakai dasar moral yang luhur yang dianjurkan oleh Islam. Sudah selayaknya bagi segenap bangsa Indonesia, untuk merumuskan Islam yang berkeindonesiaan, Islam yang sesuai dengan bangsa Indonesia, bukan malah kembali mempersoalkan persoalan klasik yang sudah dibahas para pendahulu. Seharusnya bangsa Indonesia berpikir progresif terkait dasar negara dan sistemnya agar mampu memperkukuh persatuan mereka dan mewujudkan kesejahteraan mereka, bukan malah mendekontruksinya dan berjalan kebelakang.
*Mahasiswa lulusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan alumni Pon Pes Terpadu Al-Kamal Blitar 2013