Oleh: Mirza Sauqi Futaqi, S.Hum*
Pagi dini hari menjelang sahur, pikiran melayang entah kemana dan penulis pun iseng-iseng ingin membaca harian Mesir Al Masri al Yaum dan mencari tulisan-tulisan Profesor Hasan Hanafi, seorang pengajar filsafat di Unversitas Islam Al Azhar. Hasan Hanafi adalah salah satu pemikir besar Mesir yang tulisannya tajam dan lantang menyuarakan kebebasan, toleransi, persatuan, dan perdamaian.
Pada kali ini Hasan Hanafi menulis sebuah opini yang berjudul “Minal Ittihad Wat Ta’awun Ilal Furqah Wal Qati’ah”. Opini tersebut merupakan sebuah bentuk keprihatinan dan kritiknya terhadap salah satu persoalan yang sedang terjadi di Timur Tengah yaitu pemutusan hubungan dengan Qatar yang dilakukan oleh beberapa anggota negara teluk karena tuduhan bahwa Qatar telah mendukung beberapa organisasi yang dianggap sebagai organisasi teroris, Hammas dan Ikhwanul Muslimin.
Berbeda dengan para teoritikus lainnya bahwa terorisme adalah buatan orang luar, menurut Hasan Hanafi terorisme disebabkan oleh persoalan internal yang kemudian memang mendapat bantuan dari orang luar seperti uang dan persenjataan. Persoalan internal ini keluar karena di dalam negeri tidak ada yang namanya kebebasan berfikir dan berpendapat. Oleh karena itu, mereka keluar untuk mencari bantuan atau suaka. Perlu diperhatikan, apa yang maksud dengan teroris disini adalah Hammas dan Ikhwanul Muslimin (meskipun tuduhan ini sangat sarat dengan persoalan politik).
Hasan Hanafi sebenarnya mempersoalkan tuduhan tersebut. Menurut dia apa yang dituduhkan sebagai sebuah tindak terorisme adalah sebuah perlawan terhadap tindak kesewenang wenangan, dalam konteks ini Mesir dengan Ikhwanul Muslimin dan Hammas dengan pembelaannya atas rakyat Palestina yang saat ini terjajah oleh Israel.
Hasan Hanafi mengingatkan bangsanya bahwa bangsa lebih penting dari pada sistem. Dia mengatakan bahwa kemaslahatan bangsa lebih abadi dari pada kemaslahatan sistem politik. Di bagian lain dari tulisannya dia menyindir bangsanya dengan berkata” Jika mereka melihat ke arah barat, di sana, Israel masih menjajah bumi Palestina. Maka di mana medan perang itu? Di hadapan mereka, Negara Teluk (anggota negara Teluk berbondong bondong memutus hubungan dengan Qatar), atau di belakang mereka, Palestina?”. Hasan Hanafi merasa prihatin atas apa yang terjadi dengan bangsa Arab, saudara sendiri yang berusaha membantu Palestina di embargo sedangkan mereka yang jelas-jelas menindas tidak disikapi dengan sikap yang signifikan. Hal ini mengisyarakat kepada semua bangsa yang membaca opini untuk berpikir jernih dan berkontemplasi, memikirkan mana yang musuh sejati dan mana yang kawan sejati.
Pelajaran Bagi Kita
Tulisan ini bukan mengajak pembaca untuk condong kepada kelompok tertentu, seperti sikap netral Hasan Hanafi, penulis bersikap netral dan mengemukakan persoalan ini sebagai pelajaran bagi kita bangsa Indonesia. Kita harus cermat, teliti dan bijaksana dalam menyikapi persoalan politik. Di dalam sejarah Indonesia, guna menyingkirkan orang-orang yang kritis terhadap penguasa dan menyuarakan aspirasi rakyat, penguasa biasa menggunakan label PKI terhadap seseorang sehingga mereka bisa ditangkap dan dihukum bahkan tanpa proses peradilan meskipun mereka sebenarnya tetap saudara setanah air. Kemudian, guna meraih sebuah kursi kekuasaan suatu kelompok sering menggunakan agama sebagai alat politik, sebut politisasi agama. Peneliti Senior Wahid Foundation yang juga merupakan anggota Ombudsman Indonesia Ahmad Suaedy berkata” Dalam Pilkada DKI 2017, kerusakan yang ditimbulkan oleh kampanye agama atau sektarianisme lebih dahsyat, sebab sampai merusak mekanisme sosial masyarakat.” Ia tak memungkiri bahwa efektivitas kampanye bermotif agama ini cukup tinggi, mengingat keberhasilannya pada pilkada DKI Jakarta. Namun ia mengingatkan adanya ancaman perpecahan yang berpotensi tejadi (Tempo online).
Hanya karena kepentingan individu atau segelintir orang, kepentingan bangsa dikesampingkan, termasuk persatuan dan ketahanan negara. Padahal jika persatuan dan ketahanan negara tak bisa di jaga maka kondisi tersebut akan berpengaruh ke berbagai sektor, ekonomi, sosial, agama, budaya, pendidikan dst. Bisa kita lihat bagaimana kondisi negara yang sedang dilanda perpecahan; Berita kematian terdengar setiap hari, kelaparan, pendidikan ditiadakan, bahkan untuk beribadah lima waktu saja seseorang selalu dilanda rasa takut dan kawatir. Namun, apabila kita menjadi bangsa yang bersatu maka kita akan menjadi bangsa yang kuat dan maju; bisa kita lihat di sejarah apapun termasuk sejarah Indonesia, perpecahan selalu menjadi awal dari kehancuran.
Bangsa kita ini adalah bangsa yang besar dan terdiri dari berbagai suku dan agama. Perbedaan ini sangat beresiko jika digunakan sebagai alat politik. Hal ini dapat mengganggu kestabilan negara dan kesatuannya. Maka dari itu marilah kita belajar menjadi bangsa yang sabar, bijaksana, dan berilmu agar tidak mudah di ombang ambing oleh kepentingan beberapa orang yang lebih mengedepankan kepentingan individu dan kelompok. Tentu kita tidak ingin apa yang terjadi di beberapa negara di Timur Tengah, seperti perang dan perpecahan, terjadi di negara kita. Oleh karena itu, marilah kita menjadi orang yang selalu mengedepankan kepentingan bangsa dan negara sehingga kesatuan dan ketahanan negara senantiasa terjaga. Sa’di Syairazi (salah seorang penyair dan sufi Persia tahun 700 H dengan karyanya yang terkenal Gulistan) berkata bahwa jika semut bersatu maka mereka dapat mengalahkan singa. Dengan ungkapan yang lebih optimis, Abu Hatim as Sijistani (seorang ahli qiroat, nahwu, dan bahasa yang berasal dari Persia tahun 250 H) berkata bahwa dengan saling tolong menolong suatu hal menjadi sempurna dan dengan persatuan kegagalan menjadi kemustahilan. Walluhu a’lam.
*Sarjana S1 UIN Sunan Kalijaga 2017 dan Alumni PPTA 2013