Dewasa ini sering kita dengar pertanyaan “Sampean sekolah mengambil jurusan apa? Besok lulus jadi apa?” Memang, pertanyaan ini terdengar realistis tetapi sebenarnya dalam prakteknya cenderung reduktif terhadap tujuan hakiki dari menuntut ilmu. Tujuan menuntut ilmu lebih ditujukan untuk pencarian pekerjaan, kedudukan, atau kepentingan-kepentingan lainnya yang bersifat duniawi.
Disorientasi dalam menuntut ilmu sangatlah berbahaya dan merugikan semua pihak karena ilmu hanya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan dan bukan untuk perbaikan moral, pembentukan karakter bahkan bukan untuk tujuan yang lebih esensial dari terwujudnya kehidupan, yaitu pengabdian kepada Allah. Akibatnya orang yang berpendidikan atau orang yang berilmu menggunakan keilmuannya untuk menipu orang lain, untuk menjatuhkan orang lain, untuk mengeksploitasi kekayaan negara guna kepentingan individu atau kelompok. Salah seorang sastrawan kita, Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya yang berjudul Bumi Manusia pernah berkata dengan nada sarkastis “Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harusnya semakin mengenal batas.”
Disorientasi dalam menuntut ilmu pada manusia Indonesia (khususnya yang beragama Islam) terjadi karena mereka lalai akan jati diri mereka. Bagaimana tidak? Hubungan nilai-nilai ketuhanan dengan segenap kehidupan manusia Indonesia adalah hubungan yang mutlak dan tidak bisa ditawar lagi. Manusia Indonesia dalam menuntut ilmu, pertama dan yang utama, harus berorientasi pada nilai-nilai ketuhanan. Nilai-nilai seperti sosial, kemanusiaan, kesejahteran atau nilai lainnya berada dalam urutan berikutnya. Hal ini bukan berarti nilai selain nilai ketuhanan tidak penting, tentu sangat penting bahkan tidak boleh dikesampingkan. Namun, jika dibandingkan dengan nilai ketuhanan tentu masih penting nilai ketuhanan.
Para ulama kita telah memberi rambu-rambu dalam menuntut ilmu agar senantiasa berorientasi pada nilai-nilai ketuhanan. Syeikh Zainuddin bin Ali Al Malibari berkata” Orang yang menuntut ilmu bukan karena Allah dan kehidupan akhirat adalah orang yang bermaksiat dan lalai.” Ungkapan ini tampak sederhana tetapi memiliki implikasi yang luar biasa bagi kehidupan manusia karena orientasinya dalam menuntut ilmu memiliki orientasi yang sangat esensial dan eskatologis. Ilmu tidak hanya diimplementasikan untuk kepentingan sesaat tetapi juga diimplementasikan dalam pandangan dan kehidupan yang lebih abadi.
Dapat kita bayangkan, jika orientasi menuntut ilmu selalu di dasarkan pada nilai-nilai ketuhanan dan eskatologis, tentu kelak tak satu pun manusia berani menyalahgunakan keilmuannya untuk korupsi, mengeksplotasi alam, dan mendiskreditkan lawan karena mereka tahu bahwa penyalahgunaan keilmuan akan berujung pada siksa dan adzab yang amat sangat pedih di hari kemudian. Tentu muncul pertanyaan “Kenapa orang yang menuntut ilmu bukan karena Allah layak mendapat siksa yang pedih?” Syeikh Syatho Dimyati menjalaskan bahwa orang-orang tersebut layak mendapat siksa karena mereka telah durhaka kepada Allah dan berniat bukan karena Allah, dengan kata lain orang tersebut telah menafikan Allah di dalam kehidupannya. Menafikan Allah berarti menafikan nilai-nilai yang dianjurkun oleh Allah seperti nilai kejujuran, amanat, keadilan dan nilai-nilai luhur lainnya. Jadi, sangat tidak mengherankan jika saat ini banyak kerusakan yang terjadi karena tingkah laku para orang yang berilmu. Oleh karena itu, marilah kita meluruskan dan memurnikan niat hanya untuk Allah semata sehingga, insyaAllah, kehidupan yang adil, makmur dan sejahtera akan terwujud. Wallahu a’lam.
*Mirza Syauqi,S.Hum dalam pengajian ahad wage (23/7) di Pondok Pesantren Terpadu Al-Kamal