Muslim Indonesia Pasca Pembubaran HTI

Oleh: Dr. KH. Asmawi Mahfudz, M. Ag.*

Pasca pembubaran Hizbu Tahrir Indonesia (HTI) oleh pemerintah berimplikasi kepada pro dan kontra oleh sebagaian kelompok di masyarakat. Analisisnnya dengan menggunakan perspektif berbeda-beda, sesuai dengan latar belakang yang beragam. Mulai dari kaca mata hukum, sosiologi, politis, ataupun perspektif kepentingan untuk mempertahankan status sosial kelompok yang menginginkan tetap seksis di tengah-tengah komunitasnya. Terlepas dari itu semua mari kita semua sebagai anggota masyarakat, untuk introspeksi diri menyongsong masa depan bangsa ini dengan lebih obyektif, jernih, dan lapang dada, dalam rangka mempersiapkan kehidupan berbangsa dan bernegara ini lebih optimis, tanpa dibebani dengan masalah-masalah yang sebenarnya dapat disikapi dengan mudah, tetapi karena mungki dalam diri kita kurang didasari niatan yang ikhlas dalam menyikapi masalah akhirnya sesuatu yang seharusnya dapat dijalankan dengan mudah akhirnya menjadi sulit.

Coba kita berilustrasi setback, sering kita melihat melalui media tayangan penjagaan ketat sholat jamaah oleh kelompok-kelompok keagamaan di wilayah Indonesia. Kita muslim di Indonesia memang sering disuguhi berbagai ekspresi beberapa aliran keagamaan di Indonesia, mulai yang di anggap sesat maupun yang dianggap lurus, berjalan sesuai dengan pendapat mayoritas penduduk yang mengikutinya. Misalnya penyerangan terhadap aliran Ahmadiyah, sehingga untuk sholat saja mereka harus dijaga ketat ratusan personel keamanan, kelompok sholat pakai dua bahasa yang kemudian pemimpinnya dianggap menodai ajaran agama oleh MUI Malang jatim, ada al-Maw’ud divonis sesat oleh Pakem (pengawas aliran-aliran keagamaan), Syi’ah sudah terpinggirkan sejak mulai masuk ke Indonesia. Di samping kelompok-kelompok keagamaan tersebut banyak juga yang mendapat kebebasan berekspresi dan memang sudah lama mapan di Indonesia seperti NU, Muhammadiyah, Persis dan sebagainya. Terhadap beberapa kelompok keagamaan tersebut, di hati orang awam pasti akan timbul asumsi dan pertanyaan “mengapa dari al-Qur’an yang satu dan Sunah rasul nya juga sama, ketika dilapangan mengalami perbedaan atau bahkan pertentangan di antara pengikut aliran-aliran yang ada?, bukankah Islam seharusnya menampilkan ajaran-ajaran yang dapat membuat orang lain merasa terayomi dan damai?. Pertanyaan-pertanyaan semacam ini akan terus bermunculan di tengah-tengah masyarakat awam kita, dikarenakan belum ada jawaban yang dapat memenuhi perasaan psikologis umat Islam Indonesia.

Idealnya, umat Islam itu terwujud sebagai kesatuan yang utuh dalam keseragaman iman, ilmu dan amal-nya. Jika hal semacam itu terjadi, dimungkinkan dapat mempermudah pencapaian cita-cita kejayaan seperti yang pernah dialami pada zaman keemasan dahulu. Akan tetapi dalam kenyataan, idealisme tersebut, bukanlah sesuatu yang mudah dapat diwujudkan. Banyak sekali faktor yang menjadi penghambat atau penyebabnya, karena kecenderungan dalam realitas, kondisi umat Islam bervariasi atau beragam dalam kualitas iman, ilmu dan amalnya. Akibat dari kecenderungan itu, kemungkinan terjadinya friksi atau pengelompokan-pengelompokan, yang menyulitkan upaya untuk menyatukan langkah bersama menampilkan wajah Islam yang mengandung ajaran Rahmat, kasih sayang, bukan laknat dikarenakan pertentangan di antara pengikut kelompok keagamaan tersebut

Dalam tinjauan sosiologi antropologi pada tahun 60-an, keberagaman umat Islam di Indonesia dikapling oleh Clifford Geert dengan istilah “kaum santri” dan “orang abangan” yang masing-masing menunjukkan sekelompok penganut agama Islam yang taat menjalankan ajaran agamanya dan berusaha untuk berjuang sekuat tenaga bagi kepentingan Islam di satu fihak, dan mereka yang secara formal juga beragama Islam, tetapi tidak aktif menjalankan ajarannya dan dalam perjuangan hidup belum tentu mengarah pada kepentingan Islam di fihak yang lain. Seiring dengan dinamika sosial politik, budaya, pendidikan, dimotivasi juga oleh transformasi modernisasi Islam akibat interaksi tamatan-tamatan pendidikan luar negeri yang pulang kampung, Keberagaman umat Islam Indonesia berwujud pengelompokan atas dasar ciri khas tertentu, cenderung berjalan sendiri-sendiri, walaupun tidak selalu saling berbenturan. Keberagaman semacam ini, terlepas dari pandangan bahwa di dalamnya “mengandung rahmat”, terkadang menjadi benih yang cukup subur bagi timbulnya silang sengketa yang sesungguhnya tidak perlu terjadi di kalangan sesama kaum Muslimin.

Implikasi negatifnya baik secara langsung maupun tidak langsung oleh keberagaman umat Islam adalah berwujud perbedaan pandangan tentang sesuatu hal ajaran tertentu yang kemudian berlanjut pada perbedaan tindakan. Akhirnya melemahkan umat Islam secara keseluruhan, dan tidak jarang sebaliknya justru menguntungkan fihak-fihak yang kurang suka apabila kaum Muslimin di negeri ini mencapai keberhasilan dalam memperjuangkan kejayaan bangsa dan agamanya. Seperti diungkap oleh Tuhan dalam Firmannya “ Wa Athi’ullaha wa Rasulahu wala tanaza’u fatafsyalu watadhhaba rikhukum” (Dan ta’atlah kamu semua kepada Allah dan Rasulnya dan janganlah kamu berselisih, maka akan menyebabkan kamu lemah dan hilang kewibawaan agamamu). Untuk itu yang harus segera disadari oleh umat Islam di Indonesia adalah kelapangan dada mereka untuk menerima segala perbedaan.

Secara historis latar belakang internal ajaran Islam itu sendiri sangat kompleks sehingga teramat sulit bagi setiap orang untuk dapat memahami dan mengamalkannya secara tuntas atau dengan kualifikasi yang seragam. Juga Latar belakang eksternal, misal-nya karena faktor sejarah kolonialisme (penjajahan) orang-orang kafir terhadap umat Islam Indonesia untuk menghambat dakwah dan pendidikan agama, memecah belah sesama kalangan umat, mendangkalkan aqidah, membelokkan arah perjuangan dan sebagainya. Apa yang pernah terjadi di Indonesia, akibat penjajahan ini menyebabkan umat Islam kelompok “santri” menjadi tersudutkan, terus-menerus dimusuhi, dikejar-kejar, diklaim sebagai pemberontak, padahal mereka adalah pejuang kemerdekaan. Sedangkan kalangan santri “putihan” (lawan abangan) cenderung melakukan uzlah (mengasingkan diri) alias menyingkir ke daerah-daerah pelosok yang jauh dari keramaian dan pusat pemerintahan. Di tempat-tempat terpencil itulah mereka mendirikan lembaga pendidikan Islam model pesantren dengan segala kesederhanaan dan keterbatasan sarana dan program pengajarannya. Sementara itu, kaum penjajah bersama antek-anteknya, yang sebagian juga Muslim tetapi sekedar formalitasnya, membangun lembaga pendidikan modern yang jauh lebih maju, sehingga menghasilkan golongan priyayi atau amtenar yang kurang peduli bahkan cenderung membenci Islam.

Keberagaman itu mungkin dapat mendatangkan implikasi positif misalnya dari segi keleluasaan dalam menjalankan perasaan keagamaannya (religiousity). Akan tetapi sangat jelas sekali bahwa heterogenitas ditengah-tengah masyarakat awam kita selalu berujung pada pertentangan kalau tidak adu fisik, yang akhirnya kaum Muslimin sendirilah yang bakal dibuat menderita karenanya. Contohnya, tidak saja dahulu tetapi hingga sekarang, orang-orang Islam yang termasuk kategori “abangan”, orbit perjuangannya cenderung berbeda dan justru berseberangan dengan kawan sendiri. Ketika ada keinginan untuk formalisasi syari’at Islam, menyusun undang-undang pendidikan yang mengakomodasikan aspirasi Islam, membakukan undang-undang peradilan Agama (PA), ketika berdirinya ICMI, ketika muncul Bank Mu’amalat Indonesia, ketika merintis media massa yang bernafaskan Islam, seperti koran Republika dan majalah Ummat, yang berusaha ramai-ramai untuk mengganjal dan menghalang-halangi adalah mereka mereka yang formalnya juga beragama Islam, tentu saja memperoleh dukungan dari fihak non Islam. Sangat aneh sekali, orang-orang yang formalnya beragama Islam, tetapi merasa tidak suka bahkan tidak rela manakala cita-cita umat Islam terwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat. Pandangan seperti ini sungguh aneh, karena kehidupan Islam itu tidak mungkin terlepas dari realitas masyarakat. Menolak kehadiran masyarakat Islam, sebenarnya sama saja dengan menolak Islam itu sendiri. Kalau bukan untuk menciptakan masyarakat yang mengamalkan nilai-nilai Islam, dalam masyarakat, untuk apa ada pesantren, madrasah, kegiatan dakwah, majlis ta’lim, pengajian rutin, membangun masjid, mushalla, rumah sakit Islam dan sebagainya?.

Perbedaan kualitas pemahaman dan pengalaman ajaran Islam yang terwujud dalam keberagaman kaum Muslimin di negeri ini, di samping karena faktor individunya yang mungkin saja berbeda-beda, agaknya latar belakang pendidikan dan lingkungan sehari-hari juga menjadi penyebab yang sangat penting. Dalam bidang pendidikan, memang realitasnya tidak setiap orang Islam mendapatkan kesempatan yang cukup untuk mendalami ajaran agamanya seperti dengan belajar di pesantren atau madrasah. Akibatnya mereka hanya mengenal sebagian kecil saja dari ajaran Islam, sehingga kepedulian dan kesadarannya untuk memperjuangkan nasib dan kemajuan agama cenderung sangat lemah.

Oleh karena itu, perlu ada upaya terus menerus untuk meningkatkan kualitas pendidikan agama Islam, baik di pesantren, madrasah, lingkungan keluarga, lebih-lebih di sekolah umum. Misalnya tentang kemampuan membaca serta memahami kitab suci al-Qur’an, buku-buku Hadits Rasulullah Saw diintensifkan pembudayaannya di lingkungan masyarakat, terutama pada usia kanak-kanak. Sebab dengan semakin akrab masyarakat Muslim di negeri ini untuk membaca dan memahami kitab sucinya, diharapkan semakin mengerti dan sadar apa yang seharusnya mereka lakukan sebagai penganut Islam. Dan pada gilirannya, melalui peningkatan kualitas pendidikan agama Islam secara massal tersebut, diharapkan kelak akan merubah sedikit demi sedikit kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan bagi kemajuan kaum Muslimin. Kalaulah sebagian yang tua-tua sudah terlanjur sangat minim pemahaman dan pengamalan mereka tentang ajaran Islam, yang penting generasi muda sebagai penerusnya harus menjadi pemeluk agama dengan lebih baik, dalam arti lebih memiliki kemauan dan kemampuan untuk bersama-sama memperjuangkan kemajuannya di masa-masa yang akan datang. Peningkatan kualitas pendidikan Islam serta pembinaan lingkungan masyarakat yang semakin Islami akan membentuk semacam benteng yang kukuh di kalangan kaum Muslimin, sehingga tidak mudah direkayasa fihak lain atau diadu domba, endingnya akan mempersempit ruang gerak kalangan Muslim sendiri. Mudah-mudahan, Allah Swt. senantiasa menolong kita yang dengan tulus ikhlas memperjuangkan agama Islam, Amien.

*Pengajar di Fak Syariah dan Ilmu Hukum IAIN Tulungagung, Pengasuh PP al-Kamal Kunir Wonodadi Blitar

Tags : 

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *