Filosofi Nikah

النكح من سنتى فمن رغب عن سنتى فليس منى

Nabi SAW dawuh: Nikah itu Sunnahku maka barang siapa tidak suka kepada sunnahku bukan termasuk golonganku
Nikah adalah ikatan antara suami dan istri untuk hidup bersama mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dari pengertian ini akhirnya ada beberapa unsur pokok dalam nikah yaitu akad yang berisi ijab dan qabul, ucapan serah terima wali kepada calon laki-lakinya. Calon mempelai laki dan perempuan sebagai pelaku dalam pernikahan. Wali nikah sebagai orang yang mempunyai hak milik anak perempuan, saksi untuk memperkuat akad.  Terus kemudian agar lebih kuat lagi hukum perjanjiannya dicatatkan di Kantor Urusan Agama, agar ikatan perjanjian itu ada bukti tertulis yang dapat menjamin hak dan kewajiban masing-masing pihak untuk mendapatkan keadilannya. Di tambah dengan mahar sebagai penguat akad, pengikat kesepakatan. Hal-hal di atas secara rasionalisasi memang harus ada dalam sebuah hukum perjanjian pernikahan. Bahkan dalam ajaran islam, perjanjian suami istri ini menjadi hukum yang sakral karena dilakukan atas nama Allah, ikut sunnah Rasulullah dan pasti bernilai ibadah. Sehingga dengan sakralisasi ini tidak gampang-gampang sebuah janji pernikahan rusak atau terpisahkan tanpa ada alasan darurat yang dibenarkan oleh syariat.
Dalam pengertian Nikah dijelaskan bahwa nikah bertujuan untuk mencapai kebahagian, diartikan dengan beberapa hal, diantaranya nikah untuk memperbaiki ibadah seseorang. Dengan nikah seseorang berniat melakukan perintah Allah dan Rasulullah atau agama. Karena pelaksanaan nikah didasari oleh kepatuhan niscaya bernilai ibadah kepada Allah, dan pasti mendapatkan manfaat, barakah, pahala dari Allah baik di dunia maupun di akhirat kelak. Nikah bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sosiologis manusia yang tidak mungkin untuk hidup sendiri. Manusia selalu membutuhkan teman curhat, bermusyawarah, berbagi dalam suka dan duka, tolong-menolong. Dalam hal ini pernikahan adalah sebagai media untuk tujuan sosiologis kemasyarakatan itu. Dengan pernikahan seseorang akan tambah keluarga, tambah saudara, tambah sedulur, tambah lingkungan dimana mereka berdua akan menjalani kehidupan kekeluargaannya. Maka banyak yang mengatakan bahwa keluarga inilah sebenarnya miniatur sebuah bangsa.
Tujuan selanjutnya adalah tujuan biologis manusia biasa. Dengan adanya akad nikah seseorang dapat menjalani hubungan biologis suami istri, sehingga kebutuhan syahwatnya terpenuhi secara aturan-aturan hukum, dimensi etis. Ini mungkin yang membedakan manusia diantara hamba-hamba Allah yang lain. Kalau hewan melakukan hubungan biologis dengan tanpa adab dan etika atau aturan hukum, malaikat tidak membutuhkan penyaluran syahwat, tetapi manusia sebagai hamba yang mulia menyalurkannya dengan aturan. Dalam tujuan ini pula manusia diberi atribut hamba yang mulia, disebabkan karena akhlaqnya, etikanya dalam hidup di dunia ini.
Tujuan lain adalah regenerasi manusia (genetis). Keberlanjutan generasi adalah menjadi tujuan hidup setiap manusia. Setiap orang mempunyai cita-cita bahwa nantinya ada pelanjut cerita kehidupannya, tidak hanya terputus satu generasi saja. Sebagaimana kita semua dimulai sejak Adam AS sampai sekarang turun-temurun sesuai dengan takdirnya masing-masing. Ada dari manusia yang mempunyai keturunan yang banyak, ada yang jumlahnya terbatas. Tetapi semuanya pasti mempunyai idealisme regenerasi kehidupannya.
Dari dimensia lain Nikah mempunyai nilai ekonomis, implikasi dari perjanjian kedua belah pihak yaitu ada hubungan waris mewarisi, ada kewajiban nafaqah suami, ada komitmen harta bersama. Artinya setelah seseorang bersepakat untuk hidup bersama, disini dimaknai kebersamaan dalam segala hal. Baik fisik, materi, jiwa dan lain sebagainya. Maka dengan komitmen bersama ini ada pembagian tugas, suami sebagai kepala keluarga, istri sebagai ibunya atau induk yang mengatur kebutuhan-kebutuhan domestik sebuah keluarga. Orang yang sudah mempunyai ikatan perjanjian dengan yang lain tidak bisa begitu saja melakukan perbuatan-perbuatan hukum tanpa melibatkan pasangannya. Misalnya Ketika seseorang melakukan jual beli kendaraan, mendapatkan hasil kerja, panenan sawah semuanya pasti dinamakan harta bersama atau gono gini dalam istilah Jawa.
Kemudian kalau dalam ikatan perjanjian itu ada ketidakcocokan atau ketidaksepakatan lagi bagi suami istri dalam ajaran islam di fasilitasi dengan fiqih thalaq atau perceraian. Yakni ungkapan-ungkapan perpisahan oleh suami. Kalau perpisahan ini dari pihak istri maka disebut dengan khulu’. Perpisahan dalam Islam memang diperbolehkan tetapi dengan alasan-alasan yang diperbolehkan atau dalam bahasa saya kondisi darurat, yang tidak dimungkinkan lagi ada kecocokan, kebersamaan antara si suami dan istri. Maka Rasul pernah menyebut “perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah Thalaq (perceraian)”. Dalam hukum Islam boleh dilakukan dengan beberapa alasan, tetapi dibenci oleh Allah, dalam hukum Islam akhirnya memunculkan hukum makruh.
Tentang penulis: Dr. KH. Asmawi Mahfudz, M.Ag adalah pengasuh Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal Kunir Wonodadi Blitar, dan juga dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung.

Tags : 

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *