Di dalam kajian terakhir kitab Uqud al-Lujayn karangan Syekh Nawawi al-Bantani, terdapat sebuah hikayah seorang perempuan yang mahabbah (cinta) kepada Jeng Nabi Saw. Diceritakan bahwa ada seorang perempuan keluar dari rumahnya untuk mendengarkan dawuh-dawuh Nabi Saw dalam sebuah forum bersama sahabat yang lain. Di tengah perjalanan ada seorang laki-laki muda melihatnya, bertanya kepada perempuan itu, wahai wanita yang mulia, kemana tujuanmu? Perempuan itu menjawab, saya berkehendak kepada mengikuti majelis bersama Jeng Nabi Saw, mendengarkan dawuh-dawuhnya yang baik. Pemuda tadi kemudian bertanya lagi, Apakah engkau mencintai (mahabah) kepada Jeng Nabi Saw? perempuan tadi menjawab, iya saya mencintai Nabi Saw. Terus pemuda tadi berkata lagi, demi cinta Jeng Nabi Saw kepadamu, angkatlah tutup wajahmu, sehingga saya dapat melihat wajahmu. Tatkala pemuda tadi bersumpah atas nama cinta Nabi Saw, maka perempuan tadi membuka wajahnya, yang kemudian pemuda tadi dapat melihat wajahnya. Kemudian setelah perempuan tadi telah kembali kerumah dan bertemu suaminya, perempuan itu bercerita tentang apa yang telah terjadi bersama pemuda tadi. Ketika suaminya mendengarkannya, suami merasa tidak enak hatinya, berkata dalam hati, saya harus mengetahui tentang kebenaran apa yang telah diceritakan istriku, apakah yang diceritakan itu benar atau tidak, supaya hati ini enak lagi terhadapnya, untuk itu saya akan mengujinya. Kemudian suami itu menguji istrinya dengan menyalakan api di tempat memasaknya sampai api berkobar menyala-nyala. Setelah api berkobar, suami itu mengatakan kepada istrinya, demi cinta Jeng Nabi, masuklah kamu kepada kobaran api dapur itu, mendengar suaminya bersumpah atas nama cinta Jeng Nabi Saw, perempuan itu menjatuhkan dirinya ke kobaran api yang telah disediakan suaminya dengan perasaan tanpa beban karena kebenaran cintanya kepada Jeng Nabi saw. Melihat istrinya masuk ke dalam kobaran api, tenggelam di dalamnya, suami itu kemudian merasa khawatir, dan baru mengetahui bahwa si istri adalah orang yang jujur dalam perkataannya, dalam kecintaannya kepada Nabi Saw. Terus suami itu pergi kepada Jeng Nabi Saw dan menceritakan apa yang telah terjadi kepada istrinya. Kemudian Jeng Nabi mengatakan kepada suami itu, kembalilah ke rumah dan padamkan apinya. Terus suami itu kembali ke rumah, mematikan api dapurnya, dia menemukan istrinya dalam keadaan selamat, badannya dipenuhi keringat seolah berada dalam kamar mandi yang dipenuhi dengan air.
Cerita hikmah itu memberikan gambaran tentang sifat istri yang cinta kepada Rasulullah Saw. Dengan kecintaan kepada Rasulullah menjadikan seorang istri mempunyai kepribadian yang luhur, berakhlaqul karimah, kejujuran, ketaatan kepada suaminya, dan pastinya mendapatkan syafaat dari Rasulullah Saw. Kalau dalam bahasa ilmu tashawuf, kecintaannya kepada Rasulullah menjadi wasilah seorang istri mendapatkan karamah (kemulyaan) dari Allah Swt. Ini terbukti pada saat suami mengujinya dengan membakarnya di dalam api yang membara, dia dengan wasilah mahabbah kepada Rasul Saw, mendapatkan pertolongan dari Allah Swt.
Tidak itu saja kecintaannya kepada Rasul seolah menjadikannya seorang yang totalitas dalam ketaatan menjalankan beribadah kepada Allah, menafikan aspek dunia yang lain. Yang ada dalam hatinya hanya kecintaan kepada Allah dan Rasulullah. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Hadits Nabi Saw,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
(Tidak sempurna keimanan seseorang di antara kalian hingga ia lebih mencintai aku daripada kedua orangtuanya, anaknya, dan manusia semuanya).
Di akhir tulisannya Kyai Nawawi berdoa untuk kebaikan kita, keluarga, keturunan dan semua orang-orang Islam. Penulis mengakhiri tulisannya dengan mengucap hamdalah, sebagaimana ahli surga mengakhiri doa mereka dengan meminta kepada Allah untuk menganugerahkan nikmat yang agung dan nikmat yang sempurna, karena dengan nikmat-nikmat itu sempurnalah kebahagiaan seorang hamba dunia dan akhirat.
*Pengajar UIN Satu, Pengasuh PP al-Kamal Blitar dan Fungsionaris NU Blitar