Kīmiya’ Al-Sa’ādah lil Imām Al-Ghozālī #1

Ketahuilah, portal mengetahui pencipta adalah hakikat diri seorang hamba. Seperti Firman Allah SWT yang termaktub dalam Al-Qur’an : سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ ۗ
Terjemah : Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar.
Selain itu Nabi Muhammad SAW berkata: «مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ»
Terjemah : Barang siapa yang mengetahui dirinya maka dia akan tau tuhannya.
Al-Imām Al-Ghozālī menjelaskan bahwa tidak ada yang lebih dekat dengan dirimu melainkan dirimu sendiri. Oleh sebab itu, jika kau tidak mengetahui dirimu, lantas bagaimana kau mengetahui tuhanmu?
Sebagian orang menyanggah bahwa dia tidak mengetahui dirinya sendiri. Mereka mengklam mengetahui betul detail-detail yang ada pada dirinya. Tetapi sebenarnya yang mereka ketahui hanyalah raga dhohir seperti tangan, kaki, kepala dan jasad. Mereka tidak mengetahui bathinnya atau apa yang ada pada dalam jiwanya. Seperti ketika mereka marah pasti akan menyulut perseteruan dan permusuhan, ketika mereka bersyahwat mereka akan menikah, jika mereka lapar maka akan mencari makanan, ketika merasa kehausan, mereka akan mencari minuman dan lain sebagainya. Jika seseorang menggunakan hidupnya atas perilaku-perilaku dan tujuan-tujuan diatas, mereka seperti hewan yang hanya memuaskan hawa nafsunya. Lantas apakah manusia sama derajatnya dengan hewan?
Seyogyanya seorang manusia dan hamba mengetahui dirinya secara hakiki. Sehingga seseorang menemukan jawaban atas pertanyaan;
1. Siapa sebenarnya dirinya?,
2. Dari mana tempat asalnya?,
3. Untuk apa dia diciptakan?,
4. Sebab apa dan dari mana kebahagiaan hakikinya?
5. Sebab apa dan dari mana kesengsaraannya?
Jika seseorang telah merenungu dan menjawab dengan tepat atas pertanyaan-pertanyaan diatas maka dia akan menemukan lorong yang ujungnya terdapat cahaya untuk menuntunnya kepada kebenaran.
Sejatinya pada bathin (dalam) diri seorang hamba terkumpul sifat-sifat beberapa makhluk, yaitu sifat binatang ternak, binatang buas, sifat setan, dan sifat malaikat.
Lalu jika ruh adalah hakikat manusia apa yang harus seseorang itu kerjakan?
Al-Imām Al-Ghozālī memberikan jawaban, seseorang harus mengetahui bahwa setiap makhluk mempunyai jalan kebahagiaannya.
Misal hewan ternak akan tercukupi kebahagiaannya dengan makan, minum dan kawin. Kebahagiaan binatang buas terpenuhi dengan memukul dan berburu. Kebahagiaan setan terletak pada makar, menipu dan berbuat jelek. Oleh sebab itu seseorang harus menjauhinya. Termasuk malaikat mereka mempunyai kepuasaan dan kebahagiaan tersendiri, yaitu musyāhadah (melihat) keindah-indah rububiyah (ketuhanan). Para malaikat tidak mempunyai sahwat dalam diri mereka. Jika kau sudah berada pada maqōmāt malaikat berusalah terus sehingga kau berjalan pada hadrah ilahiyyah, kemudian sampai pada musyāhadah Al-Jalāl wa Al-Jamāl (Kekuasaan, keagungan dan keindahan) sehingga dirimu murni dari syahwah syahwah duniawiyah. Lantas pertanyaan yang mendalam, untuk apa Allah SWT menciptakan syahwat dalam diri manusia? Apakah manusia hanya akan menjadi tahanan syahwat-syahwat itu? Tentu jawabannya, bahwa Allah SWT menginginkan syahwat-syahwat itu menjadi tahananmu, menjadikannya dibawah kekuasaanmu, tunduk dan patuh terhadap dirimu sehingga kau bisa menggunakannya untuk berjalan kepadaNya dan meraih kebahagiaanNya. Tentu dengan sholat, sujud dan lain hal yang telah diajarkan Nabi Muhammad SAW kepada umatnya, yang pada akhirnya seseorang menempati maqom menurut para khōwasul khōwas adalah Al-Hadrah Ilayah dan menurut orang awan adalah surga. Jika malaikat menempati maqom kebahagiaan Al-Hadrah rububiyah dan manusia ilahiyah lantas apa perbedaanya?
Jika ditinjau dari segi tauhid, maka kau akan menemukan tauhid rububiyah dan ilahiyah.
Ulama’ membedakan antara tauhid uluhiyah dan rububiyah.
Perbedaan Pertama
Perbedaan yang pertama bahwa tauhid rububiyah dan tauhid asma wa sifat melazimkan atau berkonsekuensi pada tauhid uluhiyah. Manakala seseorang meyakini bahwa Allah memiliki kekhususan dalam rububiya-Nya, hanya Dia pencipta, hanya Dia pemelihara dan pemilik alam sememesta, hanya dia yang mengatur alam ini. Manakala seseorang meyakini bahwasanya hanya Dia (Allah subhanahu wata’ala) yang memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang maha sempurna, maka itu mengharuskan dia untuk mengimani tauhid uluhiyah. Mengharuskan dia untuk menyerahkan segenap ibadahnya kepada Allah subhanahu wata’ala. Karena hanya Ia yang memiliki sifat kesempurnaan dalam rububiyah dan asma wa sifat. Tidak ada selain Allah azza wa jalla yang memiliki sifat rububiyah maupun kesempurnaan dalam asma wa sifat. Sehingga selain Allah sama sekali tidak berhak untuk mendapatkan peribadatan dari kita sebagai hamba.
Perbedaan Kedua
Perbedaan yang kedua yang paling mendasar antara tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah adalah: Tauhid rububiyah semata belum cukup untuk menyelamatkan seseorang dari status musyrik dan belum cukup untuk menyelamatkan seseorang dari adzab Allah kelak di akhirat. Untuk selamat di akhirat dia seseorang harus beriman dengan tauhid uluhiyah. Manakala dia beriman kepada tauhid rububiyah dan tauhid asma wa sifat saja namun dia masih mempersembahkan ibadah kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala maka dia belum disebut sebagai orang yang bertauhid atau orang yang beriman sepenuhnya dengan laa ilaaha illallaah.
Perbedaan Ketiga
Kemudian yang ketiga bahwasanya yang menjadi tujuan dakwah para nabi dan rasul adalah tauhid uluhiyah, itulah yang Allah firmankan dalam Al-Quran:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu” (An-Nahl: 36).
Thaghut adalah segala sesuatu yang diibadahi selain Allah subhanahu wa ta’ala. Inilah inti dakwah para Rasul semenjak nabi Nuh ‘alaihis salam sampai diutusnya nabi kita yang mulia baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ditulis oleh : Afrizal Nur Ali Syahputra, M.Pd. (Wakil Ketua Pengurus Pusat PPTA)
Terjemah kitab Kīmiya’ Al-Sa’ādah lil Imām Al-Ghozālī.

Tags : 

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *