Spesial Ramadhan (Edisi 01) : Kewajiban Niat Dalam Berpuasa

Niat menjadi salah satu unsur penting dalam ibadah. Tanpa adanya niat, maka ibadah menjadi tidak sah. Hakikat niat versi Mazhab Syafi’i adalah sebagai bentuk keabsahan. Lain halnya versi Mazhab Hanafi yang cukup menjadi penyempurna amal. Khilafiyah ini bermula dari pemahaman kedua mazhab tentang hadis populer berikut:

(إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى (رواه البخاري ومسلم

“Segala amal bergantung pada niat dan setiap manusia bergantung pada apa yang ia niatkan” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Kendati demikian, tulisan ini tidak ingin membahas tentang khilafiyah tersebut, melainkan akan menjelaskan urgensi dan fungsi niat dalam ibadah, khususnya dalam ibadah puasa Ramadhan.
Sebagaimana diketahui bahwa niat itu tempatnya di hati. Melafalkannya terhitung sebagai kesunahan untuk membantu hati memantapkan niat. Lalu mengapa harus berniat? Sebab niat memiliki fungsi prinsipil, yakni untuk membedakan antara ibadah dan kegiatan biasa. Dalam al-Asybah wa al-Nazhair misalnya disebutkan:

المَقْصُوْدُ الْأَهَمُّ مِنْهَا: تَمْيِيزُ الْعِبَادَاتِ مِنَ العَادَاتِ

“Tujuan utama dari niat adalah untuk membedakan ibadah dengan kegiatan biasa” (Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazhair, [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983], Hal. 12).
Jika kita melihat hakikat dari berpuasa adalah menahan diri dari makan dan minum serta segala sesuatu yang membatalkannya, maka hal ini pun sering dilakukan oleh orang-orang yang tidak makan minum dalam waktu tertentu dengan tujuan untuk diet atau tujuan lainnya. Karena itulah, niat hadir sebagai pembeda antara ibadah dan non ibadah.
Dalam diskursus Mazhab Syafi’i, niat menjadi penentu keabsahan suatu ibadah. Dalam puasa pun, niat menjadi rukun. Hanya saja, ada perbedaan yang signifikan antara niat puasa dengan niat shalat misalnya. Jika kita ketahui bahwa niat shalat itu harus bersamaan dengan melakukan gerakan awal dari shalat (takbiratul ihram), maka berbeda halnya dengan niat puasa yang harus dilakukan di malam hari sebelum berpuasa. Mengapa demikian?
Setidaknya ada 2 alasan di balik pengecualian niat puasa:
Pertama, adanya hadis yang mewajibkan menginapkan (tabyit) niat di malam hari. Bunyi hadisnya sebagai berikut:

(مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ  (رواه الدارقطني

“Barang siapa yang tidak menginapkan (niat) puasa sebelum fajar subuh, maka tidak sah puasanya” (HR. Al-Daraquthni).
Kedua, adanya kesulitan untuk meneliti dan menyesuaikan terbitnya fajar dengan praktik niat. Hal ini seperti disampaikan oleh Syekh Zakariyya al-Anshari berikut:

وَإِنَّمَا لَمْ يُوجِبُوا المُقَارَنَةَ فِي الصَّوْمِ لِعُسْرِ مُرَاقَبَةِ الْفَجْرِ وَتَطْبِيْقِ النِّيَّةِ عَلَيْهِ

“Hanya saja fuqaha tidak mewajibkan muqaranah (bersamaan) dalam masalah puasa, sebab sulitnya menepati fajar dan praktik niat pada saat keluarnya fajar” (Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib fi Syarh Raudl al-Thalib, [Beirut: Dar al-Kitab al-Islami, t.th], Juz 1, Hal. 28).
Oleh karena itu, Mazhab Syafi’i membuat kesimpulan bahwa seseorang yang berpuasa diwajibkan niat di malam harinya setiap hari.
Kendati demikian, apakah diperbolehkan untuk mengikuti (taqlid) pada Imam Malik yang membolehkan niat puasa satu bulan penuh pada malam 1 Ramadhan?
Pada dasarnya memang tidak diperbolehkan, namun untuk mengantisipasi terjadinya lupa niat bagi kita selaku orang awam, maka dianjurkan mengikuti pendapat Imam Malik tersebut dengan syarat harus bertaqlid dan tetap niat di setiap harinya.
Dalam Fath al-Mu’in dijelaskan:

فَلَوْ نَوَى أَوَّلَ لَيْلَةِ رَمَضَانَ صَوْمَ جَمِيعِهِ، لَمْ يَكْفِ لِغَيْرِ الْيَوْمِ الْأَوَّلِ. قَالَ شَيْخُنَا: لَكِنْ يَنْبَغِي ذٰلِكَ لِيَحْصُلَ لَهُ صَوْمُ الْيَوْمِ الَّذِي نَسِيَ النِّيَّةَ فِيهِ عِنْدَ مَالِكٍ. كَمَا تُسَنُّ لَهُ أَوَّلَ الْيَوْمِ الَّذِي نَسِيَهَا فِيْهِ لِيَحْصُلَ لَهُ صَوْمُهُ عِنْدَ أَبِي حَنِيْفَةَ. وَوَاضِحٌ أَنَّ مَحَلَّهُ إِنْ قَلَّدَ، وَإِلاَّ كَانَ مُتَلَبِّسًا بِعِبَادَةٍ فَاسِدَةٍ فِي اعْتِقَادِهِ اهـ

“Apabila seseorang berniat puasa satu bulan penuh di awal malam Ramadhan, maka tidak mencukupi, kecuali niat tersebut untuk hari pertama saja. Syaikhuna (Ibn Hajar al-Haitami) berpendapat: Namun sebaiknya hal itu dilakukan agar puasa yang lupa diniati dapat diantisipasi menurut Imam malik; sebagaimana disunahkan baginya untuk berniat di awal hari (sebelum zuhur) yang ia lupa berniat (di malam hari) agar puasanya menjadi sah menurut Imam Abu Hanifah. Jelas sekali, bahwa konteks pembahasan ini jika memang ia bertaklid. Jika tidak bertaklid, maka ia sedang mengerjakan ibadah yang rusak dalam keyakinannya.” (Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu’in, [Beirut: Dar Ibn Hazm, t.th], Hal. 261).
Keterangan di atas juga dapat dilakukan ketika seseorang tidak bertaklid pada Imam Malik (tidak berniat di awal malam 1 Ramadhan untuk puasa 1 bulan penuh), namun ia lupa berniat di malam hari, maka solusinya harus segera berniat di pagi hari selama tidak makan-minum dengan bertaklid pada Imam Abu Hanifah. Wallahu A’lam…
*   *   *   *
*Muhammad Fashihuddin, S.Ag., M.H: Dewan Asatidz PP Terpadu Al Kamal Blitar.

Tags :

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *