Ghadlab

Dalam dawuh-Nya Allah menjelaskan

اِذْ جَعَلَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فِيْ قُلُوْبِهِمُ الْحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ فَاَنْزَلَ اللّٰهُ سَكِيْنَتَهٗ عَلٰى رَسُوْلِهٖ وَعَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ وَاَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ التَّقْوٰى وَكَانُوْٓا اَحَقَّ بِهَا وَاَهْلَهَاۗ

(Ketika orang-orang kafir menanamkan kesombongan di hati mereka yakni kesombongan jahiliyah, lalu Allah menurunkan kepada rasulnya dan orang-orang mukmin ketenangan, Allah menetapkan pula untuk mereka kalimat taqwa, mereka lebih berhak atas kalimat itu dan patut memilikinya).

 Ayat Alquran di atas merupakan penjelasan yang membedakan kepribadian orang-orang mukmin dengan orang-orang kafir. Bagi orang kafir dia mempunyai karakteristik sifat jelek yang namanya kesombongan, muncul dari kemarahan yang batil (hamiyah al-shadirah an alghadlab bi al-bathil). Sebaliknya orang mukmin mendapatkan pujian dari Allah kerena mempunyai kepribadian yang tenang, maka Allah menetapkan derajat taqwa untuk mereka, supaya tetap terjaga kalimat tauhid, terbebas dari kemusyrikan. Salah satu hal yang penting diantisipasi oleh setiap manusia adalah sikap kesombongan yang dapat muncul sewaktu-waktu, yang dapat mengakibatkan sikap tidak baik dari setiap manusia yang mengalaminya.

Dalam sebuah Hadits Rasulullah menjelaskan bahwa “tidak orang-orang yang berani itu dengan perkelahian, tetapi berani adalah orang yang dapat menguasasi dirinya ketika sedang marah (yamliku nafsahu inda al-ghadlab)”.

            Memang kemarahan adalah sikap manusiawi dari makhluq Allah sebagai bagian dari fitrah ciptaannya. Dengan kemarahan manusia dapat mempertahankan dirinya, menolak bahaya yang akan menjadikan eksistensi kemanusiaan itu terancam. Misalnya dalam pergaulan sehari-hari manusia berhadapan dengan beragam watak manusia, ada yang suka ada yang membenci, ada yang ingin membantu, ada yang ingin merusak. Maka fungsi ghadlab, marah sebenarnya adalah menghindari kerusakan yang terjadi dalam diri manusia dan mempertahankannya. Karena di pihak lain orang-orang yang tidak suka kepada kita, mereka dengan kemarahannya akan menyerang, menjatuhkan, merusak atau pun menghancurkan. Untuk itu hakikat dari kemarahan adalah menjaga diri supaya terhindar dari bahaya atau kerusakan.

     Di samping itu marah dari sisi yang lain akan menunjukkan kepada orang lain tentang harga diri seseorang. Misalnya sebagai perumpamaan adalah macam disebut dengan raja hutan dikarenakan tabiatnya yang dominan adalah marah, menang melawan hewan yang lain. Maka dalam konteks manusia yang berbudaya kemarahan sebagai sifat untuk mempertahankan kemanusiaannya yang mulia yang telah ditakdirkan oleh Allah, supaya manusia yang lain tidak merendahkannya, menghinanya, melecehkan dan ancaman-ancaman yang lain.

            Maka dalam momentum Ramadhan ini adalah ajaran yang tepat seandainya hamba mengkaitkan dengan ajaran tentang marah, ghadlab. Dengan berpuasa seseorang dapat menahan diri dari konsumsi pemenuhan kebutuhan biologisnya. Makan, minum, jajan, temilan, berkumpulnya suami istri, semuanya dikurangi dalam rangka mengurangi potensi berlebihan dalam pemenuhan keinginan biologisnya. Dalam proses berpuasa mulai subuh samapai malam seseorang berusaha untuk menahan dirinya, yang kadangkala dalam usaha menahan diri itu muncul sifat kemarahan, ghadlab, dan si shaim akan berusaha sekuat tenaganya untuk menghindarinya. Maka sebulan berpuasa ini nampaknya hamba Allah akan dilatih untuk menahan untuk tidak marah, walaupun sebenarnya penahanan diri ini sifatnya adalah paksaan, diwajibkan oleh Allah. Dengan Latihan tidak marah selama sebulan ini manusia akan terbiasa untuk mengelola marah-nya sesuai dengan kebutuhan asal muasal ciptaan Allah, mempertahankan harga diri, menghindari bahaya atau kerusakan atau mempertahankan keimanan ajaran tauhid.

            Karena tanpa sifat marah yang dimaknai positif untuk mempertahankan diri dan keimanan, maka manusia akan rentan dari ancaman, gangguan, atau bahkan serangan dari pihak lain. Dalam konteks marah dalam hal positif ini sekarang umat manusia dengan tantangannya sehari-hari, baik tantangan ekonomi, sosial, politik, budaya sehingga problematika kehidupan pun juga semakin komplek, menuntut manusia ini dapat mengelola emosinya, kejiwaannya, marahnya supaya menghasilkan nilai positif untuk dirinya, keluarganya atau umatnya. Misalkan ada dawuh dari Alquran,

مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللّٰهِۗ وَالَّذِيْنَ مَعَهٗٓ اَشِدَّاۤءُ عَلَى الْكُفَّارِ

(Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya adalah yang bersikap keras kepada orang-orang kafir, yang memusuhi…). Hal ini menunjukkan adalanya sikap keras sebagai sifat untuk mempertahankan agama, keimanan, ketauhidan atau harga diri sebagai umat Muhammad yang harus dijaga.

            Maka melihat ghadlab atau marah harus diposisikan sebagaimana mestinya, memang bagi orang-orang yang tidak dapat mengendalikan kemarahan akan cenderung menghasilkan perbuatan yang destruktif untuk yang lain, ingin menjatuhkan, menguasai, mencelakai, menghina dan sifat-sifat jelek lainya. Untuk itu momentum Ramadhan ini mari digunakan untuk menjadi manusia terbaik, yang dapat mengelola kemarahan sesuai dengan fungsi diciptakannya di dalam tubuh seorang hamba, yakni untuk menjaga kemuliaan seorang hamaba Allah bukan untuk menjatuhkan atau menghinanya. Wa Allahu A’lamu.

*Penulis : Dr. KH. Asmawi Mahfudz, M.Ag (Pengajar UIN Sayyid Ali Rahmatullah, Fungsionaris NU, Pengasuh PP Al-Kamal Blitar dan Yayasan Bayturahman)

Tags :

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *